Percayalah... Suatu saat nanti... Kita 'kan dipertemukan kembali... Bintang... :)

Jumat, 20 Mei 2011

Buku Aceh Sepanjang Masa (Download)

Jika Anda merupakan penikmat sejarah Aceh, Maka tidak asing jika mendengar tentang buku "Aceh Sepanjang Abad". Buku “Aceh Sepanjang Abad” merupakan Buah karya dari Bapak Mohammad Said, dan merupakan satu-satunya buku sejarah Aceh terlengkap yang sampai saat ini belum ada tandingannya. Buku ini dijadikan sebagai buku induk sejarah Aceh, dikarenakan isinya yang sangat lengkap dan menceritakan fakta sejarah Aceh yang pernah terjadi mulai abad ke-16 hingga abad ke-19. yang di terbitkan oleh P.T Percetakan dan penerbita Waspada Medan Tahun 1981 dalam Cetakan yang kedua.

Buku "Aceh Sepanjang Abad", merupakan buku sejarah terlengkap yang mengungkapkan peristiwa demi peristiwa sejarah Aceh dalam periode klasik hingga peristiwa-peristiwa sejarah Aceh kontemporer, Dengan perjalanan Aceh yang memiliki lika-liku sejarah yang sangat panjang dan unik. Penulis buku ini sendiri merupakan wartawan legendaris yang memadukan sumber-sumber dari dalam dan bahkan dari luar negeri.

Aceh yang dalam perjalanannya yang memiliki lika-liku sejarah yang sangat panjang dan unik dalam perlawanan terhadap Belanda seakan-akan tidak pernah habis-habisnya untuk dikupas. Ini dikarenakan sejarah Aceh merupakan sejarah yang berhubungan langsung dengan peristiwa sejarah dunia, baik sebelum datangnya Islam maupun setelah Aceh dipengaruhi oleh agama Islam.

Hal ini dapat dilihat sejak jilid pertama buku Aceh Sepanjang Abad yang mengungkapkan sejarah Aceh sejak zaman pra-sejarah hingga ke Pemerintahan Aceh masa Sultan Mahmudsyah. Jika dibandingkan dengan apa yang ditulis Danys Lombard dalam buku 'Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda', maka buku "Aceh Sepanjang Abad" ini jauh lebih lengkap. Buku Mr. Lombard hanya mengungkapkan sejarah Aceh dalam periode 1607-1636. Sedangkan buku ini mengulas perjuangan Aceh hingga tahun 1945.

Buku-buku sejarah Aceh ini penting untuk dipelajari kembali oleh generasi sekarang dan yang akan datang dengan lebih memperbanyak kembali literatur-literatur sejarah Aceh termasuk upaya pemerintah mencetak ulang berbagai buku sejarah Aceh yang berkaitan dengan pergolakan bersenjata dengan penjajahan Belanda tempo dulu.

Bagi para sahabat yang ingin mendownload Buku "Aceh Sepanjang Abad" Jilid Pertama bisa di dapatkan via Mediafire yang telah kami upload, Silahkan Klik Link Download di bawah, Jangan Lupa isi PASSWORD ya ....

Selamat membaca, dan mudah-mudahan bermanfaat bagi Generasi Aceh. Mari silakan jangan sungkan-sungkan ....

Sumber: http://www.atjehcyber.tk/2011/04/download-buku-aceh-sepanjang-abad-jilid.html
 *****
 
Buku " ACEH SEPANJANG ABAD " Jilid Pertama

(Size : 151.62 MB - Password : www.atjehcyber.tk )

Buya Hamka Mengunjungi Abu Daud Beureueh

Penulis artikel ini (tidak menyebutkan namanya) adalah sekretaris Buya Hamka, yang menyertai kunjungan Buya ke Aceh untuk menemui Daud Beurueh, sesuai amanat yang diberikan oleh Presiden. Penulis menceritakan apa-apa saja yang penulis dengar dan lihat selama pertemuan tersebut berlangsung.
Tahun 1968 sekitar bulan September, Menteri Sosial Mintaredja SH (alm), mengunjungi Buya Hamka menyampaikan pesan penting dari Presiden Soeharto. Hanya sepuluh menit, Mintaredja datang tergesa-gesa, meninggalkan Buya Hamka juga dengan langkah tergesa-gesa. Penulis yang lagi asik membaca koran, dipanggil oleh Buya dan diberitahu pesan presiden yang baru diterimanya itu.

Isi pesan itu ialah, Presiden Soeharto merasa amat terkesan pada Khutbah Idhul Fitri Buya Hamka di Komplek Istana Baitul Rahim, terutama pandangan Buya tentang Pancasila. Khutbah itu berjudul “Pancasila akan hampa tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa”, dimana Buya menguraikan makna sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, yang tak lain artinya adalah Tauhid, sama seperti isi risalah yang berjudul “Urat Tunggang Pancasila” yang ditulisnya sekitar tahun 50-an. Pada bagian lain khutbah Buya yang menarik perhatian Pak Harto seperti yang disampaikan oleh Mintaredja ialah ketika membantah penggolongan Islam Abangan, dan Islam Putihan, semuanya itu adalah bikinan orang saja yang bertujuan hendak memecah umat Islam.
Abu Beureu'eh
Presiden meminta Buya Hamka menyampaikan pandangan Buya tentang Pancasila itu pada Tengku Daud Beureueh, pemimpin dari Ulama Aceh yang terkenal. Untuk itu, sekiranya Buya tidak keberatan, Presiden meminta Buya menemui Tengku Daud Beureueh langsung dikediamannya di Aceh dalam waktu dekat.
Beberapa hari sesudah itu, Mintaredja berulangkali berkunjung ke kediaman Buya, melanjutkan pembicaraan, sampai saat keberangkatan beliau ke Aceh. Sebagai sekretaris, saya menyertai penerbangan dari Jakarta ke Banda Aceh, dan ke Beureunuen, desanya Tengku Daud Beureueh. Dalam perjalanan itulah, saya mengetahui lebih jelas tentang misi Buya menemui Daud Beureueh itu. “Ini adalah tanggung jawab berat”, ujar Buya. Dari Buya saya mendengar tentang kebesarannya Daud Beureueh sebagai pimpinan rakyat, dan hubungan beliau-beliau sejak lama.
Beratnya tugas itu, ialah karena pada waktu itu di Jakarta tersebar fitnah tentang terjadinya pengusiran orang Kristen di pulau Banyak wilayah Aceh, yang dihubung-hubungkan dengan nama Daud Beureueh, tokoh pemberontakan DI. Presiden sendiri dalam waktu dekat akan berkunjung ke Aceh. Oleh sebab itu, segala isu yang mengurangi keberhasilan kunjungan Presiden itu agar dijauhkan.
Kami tiba di Aceh, dan disambut oleh Staf Gubernur Muzakir Walad, kemudian ditempatkan disebuah guest-house milik pemda. Keesokan harinya, sehabis subuh kami naik mobil juga milik pemda, menuju Beureunun yang jauhnya kira-kira setengah hari perjalanan dari Banda Aceh. Daud Beureuh menanti dipondoknya, yang terketak di depan mesjid yang belum selesai dibangun. Kedua orang itu berangkulan, karena sudah lama tak bertemu. Setelah berbincang-bincang tentang kesehatan masing-masing. Buya memulai dengan menyampaikan pandangan Beliau tentang Pancasila dan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, persis seperti isi buku beliau “Urat Tunggang Pancasila”, dan isi khutbah di Istana. “Betul, betul memang begitu” ujar Daud Beureueh yang memanggil Buya Hamka dengan sebutan “tuan”.
Kemudian ganti Daud Beureueh yang berbicara tentang Pancasila. “Yang jadi masalah bagi saya ialah keadaan sehari-hari yang jauh berbeda dengan ucapan-ucapan para pemimpin”. Kita percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, tapi kita membiarkan berlakunya perbuatan-perbuatan syirik, memuja kubur, memuja api, bahkan ada pemimpin yang ikut melakukannya. Disebutnya juga perjudian yang semakin meluas. Bukankah itu namanya kita main-main dengan Ketuhanan Yang Maha Esa"?, tegas Abu Beureu'eh.
Buya Hamka
Menyinggung perikemanusiaan dan keadilan sosial, Tengku Daud menunjuk kenyataan-kenyataan yang jauh berbeda. Dengan wajah serius dan suara berat, Daud waktu itu berumur sekitar 70 tahun, kemudian menyatakan kekhawatirannya come back-nya PKI, yang sulit dihindarkan akibat kesenjangan-kesenjangan antara segelintir orang dengan mayoritas rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Tolonglah hal ini, tuan sampaikan kepada Presiden”. Pinta Daud. Buya Hamka menyatakan keyakinan beliau, Bahwa Presiden Soeharto seorang yang benar-benar anti-komunis. Sehubungan dengan itu, Buya Hamka menyatakan, “Ulama perlu bekerjasama dengan Pemerintah. Bila tidak, orang lain yang masuk”. Ujar Buya. Pembicaraan pun sampai pada kemungkinan pihak ketiga yang selalu memfitnah mengadu domba umat Islam dengan pemerintah.
Penulis yang selama pembicaraan duduk menyandar di sudut ruangan, tidak mengingat lagi seluruh pembicaraan, yang masih tampak ialah pembicaraan itu berjalan lama, dan diselingi dengan makan siang dan sholat dzuhur.
Ketika sedang makan, penulis menanyakan tentang kasus “Pulau Banyak” pada Abu Daud, bagaimana keadaanya. “Jelas itu fitnah” jawab Daud Beureueh. Antara orang Aceh dan Nias yang beragama Kristen sejak dulu hidup rukun. Tapi kenapa sekarang tiba-tiba mereka menyerbu ke Pulau Banyak, mau mendirikan gereja dan menyiarkan agamanya di tengah-tengah orang Aceh. Daud menyebut nama beberapa media Kristen di Medan yang membesar-besarkan berita itu, seolah-olah rakyat Aceh anti-Pancasila dan akan memberontak melawan pemerintah orde baru.
Fitnah itu ke itu saja diulang-ulang. dikiranya kita takut digertak”. katanya lagi dengan suara yang serak dan berat. Pembicaraan pun beralih pada pekerjaan yang sedang dihadapi oleh Daud Deureueh saat itu, yang sedang membangun proyek irigasi guna mengairi ratusan hektar sawah rakyat. “Kecuali hari ini, berhubung karena kedatangan Tuan Hamka, biasa saya berada di Paya Rao”. ceritanya.
Setiap hari dia turut bergotong royong bersama rakyat di proyek itu. Sambil tertawa dia kemudian bertanya “Masih dituduh juga saya anti pembangunan?.” Pembicaraan yang tadinya berjalan serius kemudian, berakhir dengan suasana penuh gelak tawa. Beberapa orang pembantu Daud dan orang-orang Pemda yang mengiringi Buya Hamka dari Banda Aceh yang tadinya menunggu di luar, ketika waktu makan dan sholat dzuhur ikut bersama kami sampai pertemuan berakhir.
Masa Tua Abu Jihad
Para pejabat itu memberikan penjelasan tentang proyek irigasi yang sedang dibangun ayah Daud itu. Saya memperhatikan kulit muka dan tangan beliau yang berwarna hitam terkena sinar matahari. Beberapa waktu kemudian saya menyaksikan orang-orang datang bergantian, membawa bata atau apa saja untuk membangun mesjid -yang waktu itu belum ada dinding dan lantainya. Ada juga wanita-wanita membawa makanan untuk yang bekerja di mesjid itu. Jelaslah bagi saya kesibukan Daud Beureueh saat itu, membangun irigasi dan mesjid.
Buya Hamka memberi isarat dan mohon diri untuk kembali ke Banda Aceh. Sebelum berpisah, kedua orang itu kembali berangkulan seperti ketika datang tadi. “Insya Allah saya akan datang menjemput Presiden Soeharto, ke lapangan udara Blang Bintang, bila Beliau tiba di Aceh”. Ujar Daud Beureueh.
Sekitar jam 9 atau jam 10 malam kami tiba di tempat penginapan. Keesokan harinya, Buya Hamka dijemput oleh Wakil Gubernur, memenuhi undangan makan siang di rumah Pak Gubernur. Janji Ayah Daud akan menjemput Presiden di Blang Bintang, rupanya telah lebih dahulu di dengar orang-orang Gubernur sebelum Buya datang, rupanya yang amat diharapkan.
Beberapa hari setelah kami tiba di Jakarta, dibeberapa koran terpampang foto Presiden Soeharto berjabat tangan dengan Daud Deureueh di lapangan udara ketika beliau berkunjung ke Aceh untuk pertama kalinya.
Demikianlah pengalaman penulis mengikuti Buya Hamka bertemu dengan Ulama Besar, yang sebelumnya penulis kenal namanya di koran-koran. Sungguh suatu pengalaman yang tak terlupakan.
Setelah itu beberapa kali penulis baca tentang Daud Beureuh, misalnya tentang lawatan beliau ke luar negeri menjelang pemilu tahun 1971 atas biaya pemerintah. Kemenangan Parmusi tahun 1971 kemudian PPP dalam pemilu tangun 1977 dan sesudahnya, akibat sikap ayah Daud yang konsisten memihak partai Islam itu.
Sekitar tahun 78 Tengku Daud dibawa ke Jakarta untuk beberapa waktu, konon untuk menjauhkannya dari Gerakan Aceh Merdeka. Terakhir berita-berita tentang sikap beliau yang berubah memihak Golkar dalam usia menjelang 90 tahun pada pemilu baru lalu (1987-red). Pada koran-koran yang terbit, dimuat foto beliau dalam keadaan berbaring dan tak berdaya, waktu itu konon ayah Daud menyatakan restunya agar Golkar menang di Aceh dengan kata-katanya “get, get”. Percaya atau tidak, konon berkat restu itu, pada pemilu 87 untuk pertama kalinya Golkar berhasil meraih kemenangan di daerah Istimewa Aceh.
Hari Rabu tanggal 10 Juni (1987) Tengku Daud Beureueh berpulang ke Rahmatullah di Rumah Sakit Zainoel Abidin Banda Aceh, akibat mengidap penyakit komplikasi beberapa jenis penyakit lanjut usia : Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji’un.
Rakyat Aceh dan segenap kaum Muslimin Indonesia, berduka cita ditinggalkan seorang ulama dan pemimpin yang tiada gantinya. Nampaknya untuk kurun waktu yang akan datang, sangat sulit umat Islam mengharap hadirnya seorang Ulama yang memiliki wibawa yang begitu kuat, pendirian teguh dan keberanian seperti dimiliki Tengku Daud Beureueh tatkala semasa hidupnya.
Namun kita percaya, jejak yang ditinggalkanya tidak akan terhapus begitu saja oleh perkembangan Zaman. Jejak itu terbentang terus bagi generasi muda Aceh pewaris cita-cita beliau.
Semoga Allah menerima arwah Daud Beureueh disisi-Nya Amin...!
Ditulis ulang dari Majalah Panji Masyarakat No. 543.

Asal Usul Tanaman "Ganja" di Bumi Aceh

Mahzilnews.com - Membahas tentang ganja, pasti kita teringat akan Aceh. Namun klaim itu tak bisa serta merta disambut negatif, karena memang benar adanya. Bahkan ada klaim bahwa Tanah 1001 Rencong ini juga dikenal sebagai produsen ganja terbesar di Asia Tenggara setelah Thailand. Hampir di setiap jengkal belantara Aceh dihiasi tanaman ganja. Tak pelak, Isu Aceh sebagai penghasil tanaman ajaib ini bahkan sudah mendunia. Sampai-sampai dalam sidang ke 49 Komisi Narkoba PBB (UN Commission on Narcotic Drugs) pada tanggal 13-17 Maret 2006 di Wina Austria, turut dibahas tentang fenomena ini. Konon lagi anggapan masyarakat internasional bahwa Aceh sudah memiliki trade mark sebagai ‘ladang ganja’ terbesar sekaligus penyuplai ganja berkualitas nomor wahid.

Menjamurnya tanaman ganja di Aceh sangat didukung oleh kondisi geografis, tanahnya juga subur, hujan teratur, dan posisi pegunungan dengan iklim yang relatif stabil, ditambah lagi keterisolasian akibat konflik sejak zaman Belanda, DI-TII sampai era GAM. Nah! Masyarakat yang berada di daerah terpencil terancam kelaparan dan kemiskinan akibat konfliknya. Warga berinisiatif menanam ganja untuk bertahan hidup.


Pertanyaannya, kenapa mesti ganja? Kan masih banyak komoditi lainya, seperti palawija dan berjuta jenis tumbuhan lainya. Jawabannya, bila tanaman lain tak ada yang backup alias menyokong atau alias-alias lainnya. Sebagai contoh, menanam pisang, harga pisang untuk transport saja tak cukup, bagaimana bisa menghidupi keluarga. Apalagi tak bisa dipasarkan dengan aman, karena Aceh lagi perang. Kalau bagi yang menanam ganja, itu ada proteksi atau perlindungan dari suatu kelompok tertentu yang lazim disebut OTK, hanya petani ganja dan Tuhannya saja yang tau siapa orang tak dikenal itu.

Kembali ke "cimeng". Kalau polisi lagi sehat dan gemar berpatroli, dalam satu bulan saja dapat menemukan hingga ratusan hektar ganja di hampir seluruh wilayah Aceh. Dari sekian banyak wilayah yang tanami ganja, Bireuenlah yang disinyalir terdapat ladang ganja terluas setelah Aceh Besar yaitu, kira-kira ada 44 tempat yang tersebar di enam kawasan dalam lima Kecamatan. Satu kali operasi saja, polisi bisa menemukan 20 sampai 90 hektar ladang. Hitung saja jika satu hektar menghasilkan 100 kilogram ganja siap panen. Maka berapa jadi uang?

Mari kita hitung-hitungan, jika harga ganja di tingkat lokal saat ini berkisar Rp. 200 ribu per kilogram, maka sekali panen Si Pak Tani beserta rezim-rezimnya dapat peng Rp 20 juta. Jika sampai di Sumatera Utara dan sekitarnya harganya bisa mencapai Rp700 ribu per kilogram. Belum lagi bila sampai ke Jakarta dan Jawa lainnya, harga ganja untuk partai besar mencapai Rp. 2 juta per kilogram atau Rp. 200 juta per hektar. Sementara kalau dijual eceran malah harganya melonjak hingga Rp3,5 juta per kilogram. Walau tak valid, katakanlah jumlah keseluruhan ladang ganja di Aceh ada 1000 hektar dengan asumsi setahun bisa tiga kali panen dengan harga Rp3,5 juta per kilogram. Maka setiap kali panen omset per tahun sangat menggiurkan, yaitu 100 ribu kg x 3,5 juta x 3 = Rp 1,05 triliun. Woww!!!

Dengan demikian hasil ganja Aceh hampir mengimbangi sepertiga dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) atau di Provinsi teman saya disebutnya APBD. Bayangkan, jika hasil tanaman ini diekspor, tentu menghasilkan keuntungan berlipat ganda, apalagi ganja Aceh telah mendapat predikat standar Internasional. Untung ganja tak legal, kalau legal, mungkin Aceh sudah dinobatkan sebagai negeri swasembada ganja. Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf akan mendapat nobel layaknya Martti Ahtisaari, tokoh perdamaiaan Aceh yang terkenal itu, atau lebih tepatnya laksana Soeharto yang berhasil mengantar Indonesia sebagai Negara Swasembada Pangan.

Sejarah Ganja

Berdasarakan tinjauan historis, tanaman ganja pertama kali ditemukan di daratan Cina pada tahun 2737 SM. Masyarakat Cina kuno telah mengenal dan memanfaatkan ganja dalam kehidupan sehari-hari sejak zaman batu. Masyarakat Cina menggunakan mariyuana untuk bahan tenun pakaian, obat-obatan, dan terapi penyembuhan seperti penyakit rematik, sakit perut, beri-beri hingga malaria.


Cannabis atau ganja ini juga diolah untuk minyak lampu dan bahkan untuk upacara keagamaan seperti memuja dewa dan ritual kematian. Secara esensial ganja sendiri di sana dianggap tumbuhan liar biasa layaknya rumput yang tumbuh di mana saja karena tanahnya memang cocok. Hanya saja, ganja tidak sembarang tumbuh di tanah yang tidak sesuai dengan kultur tanaman ini. Ganja memerlukan karakter tanah dan faktor geografis tertentu, seperti di Cina, Thailand dan Aceh. Sementara di belahan bumi lainya seperti Eropa, Afrika dan Amerika, ganja juga dapat umbuh, namun hasilnya tak memuaskan, kecuali harus dengan sentuhan teknologi canggih, itu pun sangat sulit diaplikasikan.

Julukan populis lain ganja adalah mariyuana, yang berasal dari bahasa Portugis yaitu mariguango yang berarti barang yang memabukkan dan untuk bahasa ilmiahnya disebut Cannabis. Istilah ganja dipopulerkan oleh kaum Rastafari, kaum penganut sekte Rasta di Jamaika yang berakar dari Yahudi dan Mesir.

Menurut sejarahnya, ganja dibawa ke Aceh dari India pada akhir abad ke 19 ketika Belanda membuka perkebunan kopi di Dataran Tinggi Gayo. Pihak penjajah itu memakai ganja sebagai obat alami untuk menghindari serangan hama pohon kopi atau ulat pada tanaman tembakau. Walau Belanda yang membawanya ke dataran tinggi Aceh, namun menurut fakta yang ada, tanaman tersebut bukan berarti sepenuhnya berasal dari negaranya. Bisa jadi tanaman ini dipungut dari daratan Asia lainya. Di kalangan anak muda nusantara, ganja lebih familiar disebut bakong ijo, gelek, cimeng atau rasta. Sementara sebutan keren lainya ialah tampee, pot, weed, dope.

Setalah bertahun dan tumbuh menyebar hampir di seluruh Aceh, ganja mulai dikonsumsi, terutama dijadikan ‘rokok enak,’ yang lambatlaun mentradisi di Aceh. Bahkan kalau ada masakan, dianggap belum sempurna kalau bumbunya tidak dicampur dengan biji ganja. Tradisi ini memang sulit dihilangkan atau diberantas lagi di sana.

Keajaiban Ganja

Di balik harumnya tanaman pungo ini, ternyata memiliki banyak manfaat dan menyimpan sejuta kisah lain yang gila-gilaan dan sangat menakjubkan. Namun di negara yang ini, ganja hanya dikenal karena penyalahgunaannya (abuse) saja, yaitu dengan menghisap atau mengkonsumsinya saja. Sementara di luar negeri sana, tanaman ajaib ini sangat populer dan menjadi bagian dari hidup. Seperti, sebut saja Bob Marley yang kesehariaan hidupnya tak luput dari ganja. “Pesta ganja bersama Tuhan,” katanya. Bagi tokoh musik legendaris dunia ini, ganja sabagai dewa penolong sekaligus teman hidup penunjang karir. Namun kata kawan saya, ganja juga menolongnya agar cepat mati.


Selain itu ganja juga sebagai simbol perlawanan terhadap arus globalisasi yang dipaksakan negara kapitalis terhadap negara-negara berkembang dan sedang berkembang. Sebagai contoh, dulu di China ada yang namanya perang candu, negara maju seperti Inggris dan ‘kucing-kucing nakal’ lainnya memerangi alias merusak generasi muda cina dengan candu atau narkoba.

Sementara bagi masyarakat India Hindu sendiri, ganja dipakai dalam ritual penyembahan terhdap Dewa Siwa. Belum lagi kaum Rastafarian di Jamaika yang sangat mengagungkan ganja dan dapat mendekatkan diri dengan Tuhan karenanya. Entah lewat mana? Wallahualam!

Di Aceh, sebagai pusat ganja sekarang, bakong ijo ini juga menjadi bagian dari hidup, tapi bukan untuk menggoda Tuhan. Masyarakat setempat, dengan keterbatasan teknologi dan sejuta keterpurukan lainnya, mengolah ganja secara tradisional. Dengan pengetahuan yang ada, masyarakat daerah ini meramunya menjadi bahan konsumsi sehari-hari.

Hampir tak ada orang Aceh yang tak pernah mencicipinya, ada yang menikmatinya via rokok ternikmat, bumbu dapur, dodol, campuran kopi, hingga diolah ke berbagai jenis makanan lainya, selebihnya dijual ke luar Aceh. Apalagi jika ada kenduri, wah, ini yang lebih dahsyat. Bagi tamu yang belum terbiasa bisa kacau, tapi kalau di Aceh umumnya sih sudah biasa. Selain memiliki keunggulan seperti ramah lingkungan, di Aceh, ganja juga digunakan sebagai tanaman pengusir hama di ladang atau kebun.

Tau tak, bahan apa saja yang terbuat dari ganja? Tanaman ini, dari akar, batang, daun hingga ranting merupakan bahan istimewa untuk pembuatan kertas dan kain. Selain itu bijinya bisa digunakan sebagai bahan bakar minyak, baik langsung, maupun diubah melalui proses pirolisis menjadi batu bara, metana, methanol. Ganja jauh lebih baik daripada minyak bumi karena bersih dari unsur logam dan belerang, jadi lebih aman dari polusi. Lebih dari itu, biji ganja bergizi, dengan protein berkualitas tinggi, lebih tinggi dari kedelai.

Ganja ternyata bukan hanya sebatas itu, bahkan serat tanaman ganja jenis hemp pernah dipakai untuk tali pengikat kapal perang Tentara Armada Laut Amerika Serikat pada Perang Dunia II. Tentunya setelah diolah terlebih dahulu. Sebuah data dari dunia maya menyatakan, serat ganja setelah diberi sentuhan teknologi, keunggulannya melebihi baja dan halus seratnya mampu mengalahkan serat kapas, aneh bukan?

Seiring perkembangan dunia industri, negara-negara maju, seperti Tasmania, salah satu negara yang tergolong paling besar memanfaatkan potensi ganja. Negara itu memanfaatkan ganja dengan menurunkan kadar THC (Tetrahydrocannabinol) untuk memproduksi bahan tekstil, kertas, bahan pembuat makanan, tapak rem dan kopling hingga untuk tali.

Sementara di Inggris terdapat pusat pengelolaan marijuana atau ganja. Lembaga itu meneliti tanaman ini secara medis dan farmasi. Hasilnya, tanaman yang daunnya berbentuk jari ini tetap diandalkan dan menjadi obat ampuh. Seperti pasien lumpuh dapat disembuhkan dengan terapi mariyuana dan dapat berjalan kembali layaknya orang normal, tidak impoten, dan mempunyai daya ingat yang tinggi.

Bukan hanya Inggris, di Kanada, pihak pemerintah melegalisasikan ganja untuk farmasi. Dilaporkan telah banyak pasien yang terbantu, seperti mengurangi rasa mual pada penderita AIDS dan penyakit lainnya. Pemerintah Kanada mengijinkan pembelian ganja dengan resep dokter di apotek-apotek lokal. Satu ons dijual sekitar 113 US dollar dan ganja dikirim melalui kurir ke pasien atau dokter mereka.

Menurut para medis, komposisi kimia yang terkandung dalam ganja adalah Cannibanol, Cannabidinol atau THC yang terdiri dari Delta -9- THC dan Delta -8- THC. Delta -9- THC sendiri dapat mempengaruhi pola pikir otak manusia melalui penglihatan, pendengaran, dan suasana hati pemakainya. Sementara Delta -9- THC diyakini para ilmuwan medis mampu mengobati berbagai penyakit. Daun dan biji ganja membantu penyembuhan penyakit tumor dan kanker. Akar dan batangnya bisa dibuat jamu yang mampu menyembuhkan penyakit kejang perut (kram), disentri, anthrax, asma, keracunan darah, batuk, diare, luka bakar, bronchitis.


THC sendiri merupakan zat yang dapat menghilangkan rasa sakit, misalnya pada penderita glukoma. THC memiliki efek analgesic, yang dalam dosis rendah saja bisa bikin ‘tinggi’. Bila kadar THC diperkaya, bisa lebih potensial untuk pengobatan. Selain itu di masyarakat tradisonal, ganja dipakai sebagai herbal medicine. Namun bila dipakai sembarangan dan berlebihan, karena sifatnya sebagai alusinogen dapat menimbulkan euphoria sesaat, malas. Efek terburuk dari ganja membuat reaksi pemakai lambat, dan pengganja cenderung kurang waspada.

Sebuah fakta lagi, kebanyakan orang takut menggunakan ganja bahkan haram bersentuhan dengannya, padahal ganja banyak dipasarkan dalam kemasan lain yang sering dikonsumsi orang tersebut sehari-hari, misalnya sebagai obat antikantuk, obat pelangsing, obat peningkat kecerdasan, obat kuat seks dan obat untuk menambah kepercayaan diri (konfiden).

Pelarang Ganja

Mengapa ganja dilarang? Inilah petanyaan yang belum dimengerti masyarakat luas. Padahal berbagai kampanye telah dilakukan, bahkan pemerintah sendiri pun telah mengeluarkan undang-undang tentang larangan proses produksi, distribusi sampai tahap konsumsi ganja. Undang-undang No. 22 1997 tentang narkotika mengklasifikasikan ganja; biji, buah, jerami, hasil olahan atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasil sebagai narkotika golongan I yang berarti satu kelas dengan opium dan kokain.

Pasal 82 ayat 1 butir a UU tersebut menyatakan bahwa mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama dua puluh tahun dan denda paling paling banyak satu milyar rupiah.


Di Aceh, dulu dijual bebas di pasar, digantung-gantung di kios, di gerobak-gerobak penjaja sayur. Ganja mulai dilarang ketika Hoegeng menjadi kepala pemerintahan Kolonial Belanda untuk wilayah nusantara. Ia ingin tahu penyebab pemuda Aceh bermalas-malasan yang dinilai merugikan ekonomi Kerajaan Belanda. Lalu dia menyamar, pergi ke kampung-kampung dan ketemulah jawaban bodohnya, karena ganja.

Di luar negeri, ganja dibedakan menjadi dua bagian, yaitu ganja untuk kepentingan industri maupun medis yaitu ganja jenis Hemp, dan ganja terlarang sering disebut Cannabis. Sementara di Indonesia tidak mengenal perbedaan ini, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 disebutkan bahwa ganja termasuk sebagai narkotika saja.

Salah satu sebab mengapa ganja menjadi tumbuhan terlarang adalah karena zat THC. Zat ini bisa mengakibatkan pengguna menjadi mabuk sesaat jika salah digunakan. Sebenarnya kadar zat THC yang ada dalam tumbuhan ganja dapat dikontrol kualitas dan kadarnya jika ganja dikelola dan dipantau dengan proses yang benar.

Dalam penelitian meta analisis para ahli dari Universitas Cardiff dan Universitas Bristol, Inggris, pencandu ganja berisiko schizophrenia, yakni peningkatan gejala seperti paranoid, mendengar suara-suara dan melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada yang berujung pada kelainan jiwa, seperti depresi, ketakutan, mudah panik, depresi, kebingungan dan berhalusinasi, gangguan kehamilan dan janin.

Kesan Aceh sebagai ladang ganja berkonotasi negatif memang telah mencoreng muka kita semua di mata Internasional. Untuk mengatasi ini, dibutuhkan keterlibatan segenap elemen mayarakat, terutama orang tua yang memiliki anak yang cerdas, kalau anaknya sudah bodoh dari sananya, tanpa pakai ganja pun cit ka pa'ak  alias dungu. Peran Pemerintah Aceh dan ulama serta penegak hukum yang ‘masih sehat’ sangat menentukan endingnya kemelut ganja di Aceh. Lebih menentukan lagi bila disokong penuh oleh NGO baik lokal maupun asing dan elemen sipil yang masih ‘mengudara’ di Aceh saat ini.

Dengan program Alternatif Development (AD) yang dicanangkan pemerintah melalui Badan Narkotika Nasional (BNN), semoga 15 tahun mendatang, Aceh bebas dari efek negatif ganja dan dapat memanfaatkan potensi ganja sebagai komoditi ekspor unggulan untuk kepentingan industri maupun medis, tanpa harus disalah gunakan.


Kalau tidak, seperti kata hadis maja, “’Uet han, toh tan.” Maksud pemerintah kita melindungi generasi Aceh dari pengaruh ganja tak berhasil, malah potensi ganja untuk kepentingan industri dan medis yang ujung-ujungnya mensejahterakan rakyat pun melayang. Kasihan, kan? [Oleh: Rahmat RA, Mantan Pimpinan Redaksi Tabloid DETaK Mahasiswa Unsyiah].

Pada intinya tanaman ganja ini sangat bermamfaat dan berguna,cuma karena ulah manusia saja tanaman ini jadi cacat namanya, jadi ganja ini ibarat mata pisau di kalau di pakai buat bermamfaat seperti di dapur dsb tentu sangat berguna tapi sebaliknya kalau di buat untuk membunuh orang tentu si orang tersebut beserta pisau jadi permasalahan alias tertuduh yang siap menerima hukuman ( namanya material/alat serbasalah) demikian juga dengan ganja ini kalau dipakai buat bumbu masak dsb akan sangat berguna bagi manusia sebaliknya kalau dipakai buat mabuk-mabukan serta transaksi sudah pasti sangat merusak / fatal akibatnya terutama generasi muda.

Watak dan Karakter "Ureung Aceh"



Kita akan berusaha melukiskan kekhasan dan keunikan Aceh. Bahwa sesungguhnya kekhasan orang Aceh jika diperbandingkan dengan kultur masyarakat lain di Indonesia adalah sikap militansi dan loyal atau patuh kepada pemimpin.


Bukan tanpa alasan jika penulis menyebutkan dua hal di atas sebagai dua karakter yang paling menonjol dari orang Aceh.

(Pertama), Sikap militansi masyarakat atau orang Aceh sudah ditempa sejak ratusan tahun lalu, sejak pendudukan Belanda sampai konflik bersenjata antara GAM-RI. Semangat rela berkorban, berjuang dan berperang sampai titik darah penghabisan yang ditempa sekian lama itu lantas mengental, mengkristal jadi sebuah budaya yang melekat erat dalam setiap karakter masyarakat Aceh. Hal ini bisa dibaca melalui syair-syair do daidi, senandung peninabobo bayi yang mengajarkan dan mengajak sang bayi agar setelah besar nanti pergilah ke medan perang untuk berjuang membela bangsa (nanggroe).

(Kedua), selain sikap militansi, sikap yang lain yang menonjol adalah loyal dan patuh pada pemimpin. Loyalitas dan kepatuhan bagi orang Aceh sebenarnya sebuah nilai dengan harga mahal. Sebab, agar orang Aceh menjadi loyal dan patuh, sang pemimpin haruslah jujur, setia kepada rakyatnya, tidak ingkar janji, bijak dalam pelayanan serta percaya kepada rakyat.

Pada masa perjuangan merebut kemerdekaan orang Aceh rela memberikan segala harta bendanya kepada Indonesia lewat sebuah pesawat bernama RI 01 yang kita tahu sekarang dimuseumkan di Taman Mini Indonesia Indah. Inilah bukti kepatuhan dan loyalitas orang Aceh terhadap Soekarno karena beliau menjanjikan penetapan syariat Islam di Aceh. Janji itu disampaikan Soekarno kepada Tengku Daud Beureuh pada 16 Juni 1948. Aceh memberikan kemenangan telak kepada partai Demokrat dan secara khusus kepada SBY dalam pilpres 2009. Tercatat 93% masyarakat Aceh memilih SBY. Ini juga bukti kepatuhan dan loyalitas orang Aceh terhadap SBY, karena dalam masa pemerintahannya SBY telah memberikan sesuatu yang berharga untuk Aceh yakni perdamaian.

Belajar dari fakta sejarah masa lulu, SBY yang sekarang dipercayakan oleh mayoritas masyarakat Aceh hendaknya membangun silaturahmi yang baik dengan masyarakat Aceh. Sebab bisa saja terjadi, jika kepercayaan itu tidak dihargai, maka Aceh akan bergejolak lagi. Prediksi ini memang jauh panggang dari api, tetapi sikap awas SBY atas semua janjinya mesti perlu dibuktikan.

Itulah gambaran singkat masyarakat Aceh, Menurut Dr. Mohd Harun lewat ‘Memahami orang Aceh’ (April 2009) Kajiannya atas masyarakat Aceh dari penggalan syair hadih maja. Menurutnya ada lima (5) prototipe watak orang Aceh.

Pertama adalah reaktif artinya sebagai sebuah sikap awas atas harga diri yang keberadaanya dipertaruhkan dalam konstelasi sosial budaya. Orang Aceh sangat peka terhadap situasi sosial di sekitarnya. Orang Aceh tidak suka diusik apalagi diejek,  sebab, karena kalau tersinggung dan menanggung malu reaksi yang timbul adalah akan dibenci dan bahkan menimbulkan dendam. 
Meunyoe ka teupeh, Bu leubeh han geu peu taba.
Meunyoe hana teupeh, [maaf] Aneuk kreh jeut ta raba. ^^  (silahkan Artikan Sendiri)

Kedua adalah militan artinya memiliki semangat juang yang tinggi, bukan hanya dalam memperjuangkan makna hidup tetapi juga dalam mempertahankan harga diri atau eksistensinya.
‘Rencong peudeueng pusaka ayah, rudoh siwah kreh peunulang.
Nibak udep dalam susah, bah manoe darah teungoh padang’
(Rencong, pedang pusaka ayah, rudoh, siwah keris warisan.
Daripada hidup di dalam susah, biar bermandikan padang di tengah padang)

Ketiga adalah optimis hal ini tampak dalam melakukan suatu pekerjaan tertentu. Orang Aceh beranggapan bahwa setiap pekerjaan yang kelihatan sulit dan berat harus dicoba dan dilalui.  
‘Siploh pinto teutob, na saboh nyang teuhah’
(sepuluh pintu tertutup, ada satu yang terbuka).

Keempat adalah konsisten. Hal ini tampak dalam sikap dan pendirian yang tidak plin plan, tegas, taat asas apalagi jika berkaitan dengan harga diri dan kebenaran.
Cab di batee labang di papeuen, lagee ka lon kheun han jeut metuka’
(cap di batu paku di papan, seperti sudah kukatakan tak boleh bertukar)

Kelima adalah loyal. Hal ini amat berkaitan dengan kepercayaan. Jika seseorang , lebih-lebih pemimpin, menghargai, mempercayai, tidak menipu, tidak mencurigai orang Aceh maka mereka akan mebaktikan diri sepenuhnya kepada sang pemimpin.
Adak lam prang pih lon srang-brang. Bah mate di blang ngon sabab gata’
(walau dalam perang pun saya berkorban, biarlah mati dalam perang demi anda).

Bagikan

Siapa Bilang Aceh Memberontak???

Di dalam buku-buku pelajaran sejarah dan media massa nasional, beberapa tahun sebelum terciptanya perdamaian di Nangroe Aceh Darussalam, kita sering mendengar istilah ‘Pemberontakan Rakyat Aceh’ atau ‘Pemberontakan Aceh’ terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sejak zaman kekuasaan Bung Karno hingga presiden-presiden penerusnya, sejumlah ‘kontingen’ pasukan dari berbagai daerah—terutama dari Jawa—dikirim ke Aceh untuk ‘memadamkan’ pemberontakan ini. Kita seakan menerima begitu saja istilah ‘pemberontakan’ yang dilakukan Aceh terhadap NKRI.

Namun tahukah kita bahwa istilah tersebut sesungguhnya bias dan kurang tepat? Karena sesungguhnya—dan ini fakta sejarah—bahwa Aceh sebenarnya tidak pernah berontak pada NKRI, namun menarik kembali kesepakatannya dengan NKRI. Dua istilah ini, “berontak” dengan “menarik kesepakatan” merupakan dua hal yang sangat berbeda.


Inong Balee Army

Sudah Merdeka Sebelum NKRI Lahir

NKRI secara resmi baru merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Sedangkan Aceh Darussalam sudah berabad-abad sebelumnya merdeka, memiliki hukum kenegaraan (Qanun)nya sendiri, menjalin persahabatan dengan negeri-negeri seberang lautan, dan bahkan pernah menjadi bagian (protektorat) dari Kekhalifahan Islam Turki Utsmaniyah.

Jadi, bagaimana bisa sebuah negara yang merdeka dan berdaulat sejak abad ke-14 Masehi, bersamaan dengan pudarnya kekuasaan Kerajaan Budha Sriwijaya, dianggap memberontak pada sebuah Negara yang baru merdeka di abad ke -20?

Aceh Darussalam merupakan negara berdaulat yang sama sekali tidak pernah tunduk pada penjajah Barat. Penjajah Belanda pernah dua kali mengirimkan pasukannya dalam jumlah yang amat besar untuk menyerang dan menundukkan Aceh, namun keduanya menemui kegagalan, walau dalam serangan yang terakhir Belanda bisa menduduki pusat-pusat negerinya.

Sejak melawan Portugis hingga VOC Belanda, yang ada di dalam dada rakyat Aceh adalah mempertahankan marwah, harga diri dan martabat, Aceh Darussalam sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat berdasarkan Qanun Meukuta Alam yang bernafaskan Islam.

Saat itu, kita harus akui dengan jujur, tidak ada dalam benak Rakyat Aceh soal yang namanya membela Indonesia. Sudah ratusan tahun, berabad-abad Kerajaan Aceh Darussalam berdiri dengan tegak bahkan diakui oleh dunia Timur dan Barat sebagai “Negara” yang merdeka dan berdaulat.

Istilah “Indonesia” sendiri baru saja lahir di abad ke-19. Jika diumpamakan dengan manusia, maka Aceh Darussalam adalah seorang manusia dewasa yang sudah kaya dengan asam-garam kehidupan, kuat, dan mandiri, sedangkan “Indonesia” masih berupa jabang bayi yang untuk makan sendiri saja belumlah mampu melakukannya.

Banyak literatur sejarah juga lazim menyebut orang Aceh sebagai “Rakyat Aceh”, tapi tidak pernah menyebut hal yang sama untuk suku-suku lainnya di Nusantara. Tidak pernah sejarah menyebut orang Jawa sebagai rakyat Jawa, orang Kalimantan sebagai rakyat Kalimantan, dan sebagainya. Yang ada hanya Rakyat Aceh. Karena Aceh sedari dulu memang sebuah bangsa yang sudah merdeka dan berdaulat.

Dipersatukan Oleh Ukhuwah Islamiyah

Kesediaan rakyat Aceh mendukung perjuangan bangsa Indonesia, bahkan dengan penuh keikhlasan menyumbangkan segenap sumber daya manusia dan hartanya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia—lebih dari daerah mana pun di seluruh Nusantara, adalah semata-mata karena rakyat Aceh merasakan ikatan persaudaraan dalam satu akidah dan satu iman dengan rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim.

Ukhuwah Islamiyah inilah yang mempersatukan rakyat Aceh dengan bangsa Indonesia. Apalagi Bung Karno dengan berlinang airmata pernah berjanji bahwa untuk Aceh, Republik Indonesia akan menjamin dan memberi kebebasan serta mendukung penuh pelaksanaan syariat Islam di wilayahnya. Sesuatu yang memang menjadi urat nadi bangsa Aceh.

Namun sejarah juga mencatat bahwa belum kering bibir Bung Karno mengucap, janji yang pernah dikatakannya itu dikhianatinya sendiri. Bahkan secara sepihak hak rakyat Aceh untuk mengatur dirinya sendiri dilenyapkan. Aceh disatukan sebagai Provinsi Sumatera Utara. Hal ini jelas amat sangat menyinggung harga diri rakyat Aceh.

Dengan kebijakan ini, pemerintah Jakarta sangat gegabah karena sama sekali tidak memperhitungkan sosio-kultural dan landasan historis rakyat Aceh. Bukannya apa-apa, ratusan tahun lalu ketika rakyat Aceh sudah sedemikian makmur, ilmu pengetahuan sudah tinggi, dayah dan perpustakaan sudah banyak menyebar seantero wilayah, bahkan sudah banyak orang Aceh yang menguasai bahasa asing lebih dari empat bahasa, di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Provinsi Sumatera Utara pada waktu itu, manusia-manusia yang mendiami wilayah itu masih berperadaban purba. Masih banyak suku-suku kanibal, belum mengenal buku, apa lagi baca-tulis. Hanya wilayah pesisir yang sudah berperadaban karena bersinggungan dengan para pedagang dari banyak negeri.

Saat perang mempertahankan kemerdekaan melawan Belanda pun, bantuan dari Aceh berupa logistik dan juga pasukan pun mengalir ke Medan Area. Bahkan ketika arus pengungsian dari wilayah Sumatera Utara masuk ke wilayah Aceh, rakyat Aceh menyambutnya dengan tangan terbuka dan tulus. Jadi jelas, ketika Jakarta malah melebur Aceh menjadi Provinsi Sumatera Utara, rakyat Aceh amat tersinggung. Tak mengherankan jika rakyat Aceh, dipelopori PUSA dengan Teungku Daud Beureueh, menarik kembali janji kesediaan bergabung dengan Republik Indonesia di tahun 1953 dan lebih memilih untuk bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII) yang lebih dulu diproklamirkan S. M. Kartosuwiryo di Jawa Barat. Ini semata-mata demi kemaslahatan dakwah dan syiar Islam. Dengan logika ini, Aceh bukanlah berontak atau separatis, tapi lebih tepat dengan istilah: menarik kembali kesediaan bergabung dengan republik karena tidak ada manfaatnya.

Pandangan orang kebanyakan bahwa Teungku Muhammad Daud Beureueh dan pengikutnya tidak nasionalis adalah pandangan yang amat keliru dan a-historis. Karena sejarah mencatat dengan tinta emas betapa rakyat Aceh dan Daud Beureueh menyambut kemerdekaan Indonesia dengan gegap-gempita dan sumpah setia, bahkan dengan seluruh sisa-sisa kekuatan yang ada berjibaku mempertahankan kemerdekaan negeri ini menghadapi rongrongan konspirasi Barat.


Cara Pandang ‘Majapahitisme’

Mengatakan Aceh pernah melakukan pemberontakan terhadap NKRI merupakan cara pandang yang berangkat dari paradigma ‘Majapahitisme’. Bukan hal yang perlu ditutup-tutupi bahwa cara pandang Orde Lama maupun Baru selama ini terlalu Majapahitisme’ atau Jawa Sentris, semua dianggap sama dengan kultur Jawa Hindu. Bahkan simbol-simbol negara pun diistilahkan dengan istilah-istilah sansekerta, yang kental pengaruh Hindu dan paganisme yang dalam Akidah Islam dianggap sebagai syirik, mempersekutukan Allah SWT dan termasuk dosa yang tidak terampunkan.

Bukankah suatu hal yang amat aneh, suatu negeri mayoritas Islam terbesar dunia tapi simbol negaranya sarat dengan istilah Hindu. Ini merupakan suatu bukti tidak selarasnya aspirasi penguasa dengan rakyatnya. Padahal Islam tidak mengenal, bahkan menentang mistisme atau hal-hal berbau syirik lainnya. Rakyat Aceh sangat paham dan cerdas untuk menilai bahwa hal-hal seperti ini adalah sesuatu yang tidak bisa diterima.

Sosio-kultural raja-raja Jawa sangat kental dengan nuansa Hinduisme. Raja merupakan titisan dewa, suara raja adalah suara dewa. Sebab itu, di Jawa ada istilah “Sabda Pandhita Ratu” yang tidak boleh dilanggar. Raja di Jawa biasa berbuat seenaknya, bisa menciptakan peraturanya sendiri dan tidak ada yang protes ketika dia melanggarnya. Malah menurut beberapa literatur sejarah, ada raja-raja di Jawa yang memiliki hak untuk “mencicipi keperawanan” setiap perempuan yang disukainya di dalam wilayah kekuasaannya. Jadi, ketika malam pengantin, mempelai perempuan itu bukannya tidur dengan sang mempelai laki, tetapi dengan rajanya dulu untuk dicicipi, setelah itu baru giliran sang mempelai lelaki.

Ini sangat bertentangan dengan sosio-kultural para Sultan dan Sultanah di Kerajaan Aceh Darussalam. Dalam Islam, penguasa adalah pemegang amanah yang wajib mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hari akhir kelak kepada Allah SWT.

Kerajaan Aceh Darussalam saat diperintah oleh Sultan Iskandar Muda telah memiliki semacam Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR-MPR) yang hak dan kewajibannya telah di atur dalam ‘Konstitusi NegaraQanun Meukuta Alam. Ada pula Dewan Syuro yang berisikan sejumlah ulama berpengaruh yang bertugas menasehati penguasa dan memberi arahan-arahan diminta atau pun tidak. Aceh juga telah memiliki penguasa-penguasa lokal yang bertanggungjawab kepada pemerintahan pusat. Jadi, seorang penguasa di Kerajaan Aceh Darussalam tidak bisa berbuat seenaknya, karena sikap dan tindak-tanduknya dibatasi oleh Qanun Meukuta Alam yang didasari oleh nilai-nilai Qur'aniyah.

Jadi, jelaslah bahwa sosio-kultur antara Nanggroe Aceh Darussalam dengan kerajaan-kerajaan Hindu amat bertolak-belakang. Nanggroe Aceh Darussalam bersedia mendukung dan menyatukan diri dengan NKRI atas bujukan Soekarno, semata-mata karena meyakini tali ukhuwah Islamiyah. Namun ketika Aceh dikhianati dan bahkan di masa Orde Lama maupun Orde Baru diperah habis-habisan seluruh sumber daya alamnya, disedot ke Jawa, maka dengan sendirinya Aceh menarik kembali kesediaannya bergabung dengan NKRI. Aceh menarik kembali kesepakatannya, bukan memberontak. Ini semata-mata karena kesalahan yang dilakukan “Pemerintah Jakarta” terhadap Nanggroe Aceh Darussalam.

Dan ketika Aceh Darussalam sudah mau bersatu kembali ke dalam NKRI, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bersedia meletakkan senjatanya dan memilih jalan berparlemen, Aceh sekarang dipimpin seorang putera daerahnya lewat sebuah pemilihan yang sangat demokratis, maka sudah seyogyanya NKRI memperlakukan Aceh dengan adil dan proporsional.

Puluhan tahun sudah Aceh menyumbangkan kekayaannya untuk kesejahteraan seluruh Nusantara, terutama Tanah Jawa, maka sekarang sudah saatnya “Jawa” membangun Aceh. Mudah-mudahan ‘kesepakatan’ ini bisa menjadi abadi, semata-mata dipeliharanya prinsip-prinsip keadilan dan saling harga-menghargai.



Inong Balee Army
Inong Balee Army
Inong Balee Army
Inong Balee Army
  • Inong Balee Army
Inong Balee Army
Seulawah RI-001
Seulawah RI-001
Seulawah RI-001

Kisah Pengkhianatan Soekarno Untuk Aceh

Jauh sebelum NKRI berdiri, Aceh Darussalam telah berdaulat sebagai sebuah kerajaan merdeka dan bahkan menjadi bagian dari kekhalifahan Turki Utsmaniyah.

Hal ini sungguh-sungguh disadari Soekarno sehingga dia mengajak dan membujuk Muslim Aceh untuk mau bergabung dengan rakyat Indonesia guna melawan penjajah Belanda.

Saat berkunjung ke Aceh tahun 1948, Bung Karno dengan sengaja menemui tokoh Aceh, Daud Beureueh. Bung Karno selaku Presiden RI menyapa Daud Beureueh dengan sebutan “Kakanda (kakak)” dan terjadilah dialog yang sampai saat ini tersimpan dengan baik dalam catatan sejarah:

Presiden Soekarno      : “Saya minta bantuan Kakak agar rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara Indonesia dan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.” 

Daud Beureueh           : “Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan Presiden asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau perang fisabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati syahid.”

Presiden Soekarno      : “Kakak! Memang yang saya maksudkan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Teungku Cik Di Tiro dan lain-lain, yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang bersemboyan merdeka atau syahid.”

Daud Beureueh           : “Kalau begitu kedua pendapat kita telah bertemu Saudara Presiden. Dengan demikian bolehlah saya mohon kepada Saudara Presiden, bahwa apabila perang telah usai nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan Syariat Islam di dalam daerahnya.”

Presiden Soekarno      : “Mengenai hal itu Kakak tak usah khawatir. Sebab 90% rakyat Indonesia beragama Islam.”

Daud Beureueh           : “Maafkan saya Saudara Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami menginginkan suatu kata ketentuan dari Saudara Presiden.”

Presiden Soekarno      : “Kalau demikian baiklah, saya setujui permintaan Kakak itu.”

Daud Beureueh           : “Alhamdulillah. Atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan terima kasih banyak atas kebaikan hati Saudara Presiden. Kami mohon (sambil menyodorkan secarik kertas kepada presiden) sudi kiranya Saudara Presiden menulis sedikit di atas kertas ini.”
Daud Beureu'eh
 
Mendengar ucapan Daud Beureueh itu Bung Karno langsung menangis terisak-isak. Airmata yang mengalir telah membasahi bajunya. Dalam keadaan sesenggukan,

Soekarno berkata,       : “Kakak! Kalau begitu tidak ada gunanya aku menjadi presiden. Apa gunanya menjadi presiden kalau tidak dipercaya.” Dengan tetap tenang, Daud Beureueh menjawab, “Bukan kami tidak percaya, Saudara Presiden. Akan tetapi sekadar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan kepada rakyat Aceh yang akan kami ajak untuk berperang.”

Sambil menyeka airmatanya, Bung Karno berjanji,

Bung Karno berjanji     : “Wallah Billah (Demi Allah), kepada daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan Syariat Islam. Dan Wallah, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanakan  Syariat Islam di dalam daerahnya. Nah, apakah Kakak masih ragu-ragu juga?”

Daud Beureueh menjawab,   : “Saya tidak ragu Saudara Presiden. Sekali lagi, atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan hati Saudara Presiden.”

Dalam suatu wawancara yang dilakukan M. Nur El Ibrahimy dengan Daud Beureueh, Daud Beureueh menyatakan bahwa melihat Bung Karno menangis terisak-isak, dirinya tidak sampai hati lagi untuk bersikeras meminta jaminan hitam di atas putih atas janji-janji presiden itu. 

Soekarno mengucapkan janji tersebut pada tahun 1948. Setahun kemudian Aceh bersedia dijadikan satu provinsi sebagai bagian dari NKRI. Namun pada tahun 1951, belum kering bibir mengucap, Provinsi Aceh dibubarkan pemerintah pusat dan disatukan dengan Provinsi Sumatera Utara.

Jelas, ini menimbulkan sakit hati rakyat Aceh. Aceh yang porak-poranda setelah berperang cukup lama melawan Belanda dan kemudian Jepang, lalu menguras dan menghibahkan seluruh kekayaannya demi mempertahankan keberadaan Republik Indonesia tanpa pamrih, oleh pemerintah pusat bukannya dibangun dan ditata kembali malah dibiarkan terbengkalai.

Bukan itu saja, hak untuk mengurus diri sendiri pun akhirnya dicabut. Rumah-rumah rakyat, dayah-dayah, meunasah-meunasah, dan sebagainya yang hancur karena peperangan melawan penjajah dibiarkan porak-poranda. Bung Karno telah menjilat ludahnya sendiri dan mengkhianati janji yang telah diucapkannya atas nama Allah. Kenyataan ini oleh rakyat Aceh dianggap sebagai kesalahan yang tidak pernah termaafkan.

Sulthan Iskandar Muda - Kerajaan Aceh Darussalam (1593-1636)

RIWAYAT HIDUP SULTAN

" .... Pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda.... ,Kerajaan Aceh termasuk Lima Kerajaan Terbesar di Dunia... "

Snouck Hurgronje  pernah menyatakan bahwa kisah tentang Sultan Iskandar Muda hanya dongeng belaka. Sayangnya, Horgronje hanya mendasari penelitiannya pada karya-karya klasik Melayu, seperti Bustan al-Salatin, Hikayat Aceh, dan Adat Aceh. Sejarah Aceh rupanya dipahami Horgronje secara keliru.

Sultan Iskandar Muda
Sultan Iskandar Muda merupakan Raja paling berpengaruh pada Kerajaan Aceh. Ia lahir di Aceh pada tahun 1593. Nama kecilnya adalah Perkasa Alam. Dari pihak ibu, Sultan Iskandar Muda merupakan keturunan dari Raja Darul-Kamal, sedangkan dari pihak ayah ia merupakan keturunan Raja Makuta Alam. Ibunya bernama Putri Raja Indra Bangsa, atau nama lainnya Paduka Syah Alam, yang merupakan anak dari Sultan Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10. Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan Sultan Mansyur Syah, putra dari Sultan Abdul Jalil (yang merupakan putra dari Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahhar, Sultan Aceh ke-3). Jadi, sebenarnya ayah dan ibu dari Sultan Iskandar Muda merupakan sama-sama pewaris kerajaan.

Sultan Iskandar Muda menikah dengan seorang putri dari Kesultanan Pahang, yang lebih dikenal dengan Putroe Phang. Dari hasil pernikahan ini, Sultan Iskandar Muda dikaruniai dua buah anak, yaitu Meurah Pupok dan Putri Safiah. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan istrinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.

Gunongan, Taman Putroe Phang

 Perjalanan Sultan Iskandar Muda ke Johor dan Melaka pada 1612 sempat berhenti di sebuah Tajung (pertemuan sungai Asahan dan Silau) untuk bertemu dengan Raja Simargolang. Sultan Iskandar Muda akhirnya menikahi salah seorang puteri Raja Simargolang yang kemudian dikaruniai seorang anak bernama Abdul Jalil (yang dinobatkan sebagai Sultan Asahan).

Sultan Iskandar Muda mulai menduduki tahta Kerajaan Aceh pada usia yang terbilang cukup muda (14 tahun). Ia berkuasa di Kerajaan Aceh antara 1607 hingga 1636, atau hanya selama 29 tahun. Kapan ia mulai memangku jabatan raja menjadi perdebatan di kalangan ahli sejarah. Namun, mengacu pada Bustan al-Salatin, ia dinyatakan sebagai sultan pada tanggal 6 Dzulhijah 1015 H atau sekitar Awal April 1607. Masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda tersebut ini dikenal sebagai masa paling gemilang dalam sejarah Kerajaan Aceh Darussalam. Ia dikenal sangat piawai dalam membangun Kerajaan Aceh menjadi suatu kerajaan yang Kuat, Besar, dan tidak saja disegani oleh Kerajaan-Kerajaan lain di nusantara, namun juga oleh dunia luar. Pada masa kekuasaannya, Kerajaan Aceh termasuk dalam Lima Kerajaan Terbesar di Dunia.

 Langkah utama yang ditempuh Sultan Iskandar Muda untuk memperkuat kerajaan adalah dengan membangun angkatan perang yang umumnya diisi dengan tentara-tentara muda. Sultan Iskandar Muda pernah menaklukan Deli, Johor, Bintan, Pahang, Kedah, dan Nias sejak tahun 1612 hingga 1625. Sultan Iskandar Muda juga sangat memperhatikan tatanan dan peraturan perekonomian kerajaan. Dalam wilayah kerajaan terdapat bandar transito (Kutaraja, kini lebih dikenal Banda Aceh) yang letaknya sangat strategis sehingga dapat menghubungkan roda perdagangan kerajaan dengan dunia luar, terutama negeri Barat. Dengan demikian, tentu perekonomian kerajaan sangat terbantu dan meningkat tajam.

Rombongan Kerajaan
Menurut tradisi Aceh, Sultan Iskandar Muda membagi wilayah Aceh ke dalam wilayah administrasi yang dinamakan Ulèëbalang  dan Mukim ; ini dipertegas oleh laporan seorang penjelajah Perancis bernama Beauliu, bahwa "Iskandar Muda membabat habis hampir semua bangsawan lama dan menciptakan bangsawan baru." Mukim  pada awalnya adalah himpunan beberapa desa untuk mendukung sebuah masjid yang dipimpin oleh seorang Imam (Imeum). Ulèëbalang (Hulubalang) pada awalnya barangkali bawahan utama Sultan, yang dianugerahi Sultan beberapa Mukim, untuk dikelolanya sebagai Pemilik Feodal.

¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯
HUBUNGAN DENGAN BANGSA LUAR

Sultan Iskandar Muda dikenal memiliki hubungan yang sangat baik dengan Eropa. Konon, ia pernah menjalin komunikasi yang baik dengan Inggris, Belanda, Perancis, dan Ustmaniyah Turki. Sebagai contoh, pada abad ke-16 Sultan Iskandar Muda pernah menjalin komunikasi yang harmonis dengan Kerajaan Inggris yang pada saat itu dipegang oleh Ratu Elizabeth I. Melalui utusannya, Sir James Lancester, Ratu Elizabeth I memulai isi surat yang disampaikan kepada Sultan Iskandar Muda.  Berikut cuplikan isi surat Sultan Iskandar Muda, yang masih disimpan oleh pemerintah sampai saat ini, tertanggal tahun 1585 :


" I am the mighty ruler of the Regions below the wind, Who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset."

" Hambalah sang Penguasa Perkasa Negeri-Negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas Tanah Aceh dan atas Tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah-wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam" 

Istana Daruddunya Kerajaan Aceh Darussalam
 
Pada masa pemerintahannya, terdapat sejumlah Ulama besar. Di antaranya adalah Syiah Kuala sebagai mufti besar di Kerajaan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda. Hubungan keduanya adalah sebagai penguasa dan ulama yang saling mengisi proses perjalanan roda pemerintahan. Hubungan tersebut diibaratkan: "Adat bak Peutoe Meureuhom, Hukom bak Syiah Kuala " ( Adat di bawah kekuasaan Sultan, Kehidupan hukum beragama di bawah keputusan Tuan Syiah Kuala). Sultan Iskandar Muda juga sangat mempercayai ulama lain yang sangat terkenal pada saat itu, yaitu Syeikh Hamzah Fanshuri dan Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani. Kedua ulama ini juga banyak mempengaruhi kebijakan Sultan. Kedua merupakan sastrawan terbesar dalam sejarah nusantara

Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri Dinasti Oranje Belanda juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid.

Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para Pembesar - Pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.

Sultan Iskandar Muda mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Utsmaniyah yang berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat itu Sultan Utsmaniyah sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun Sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu Kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Iskandar Muda.

Sultana Tajul Alam Safiatuddin Syah, Putri kandung dari Sultan Iskandar Muda
Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Iskandar Muda. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi Sang Sultan. Dalam bukunya, Denys Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga.

Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya Kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari Dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Daruddunya (Kini Meuligo Aceh, Kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (Sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah Sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.

Sultan Iskandar Muda meninggal di Aceh pada tanggal 27 Desember 1636, dalam usia yang terbilang masih cukup muda, yaitu 43 tahun. Oleh karena sudah tidak ada anak laki-lakinya yang masih hidup, maka tahta kekuasaanya kemudian dipegang oleh menantunya, Sultan Iskandar Thani (1636-1641). Setelah Sultan Iskandar Tani wafat tahta kerajaan kemudian dipegang janda Iskandar Tani, yaitu Sultanah Tajul Alam Syafiatudin Syah atau Puteri Safiah (1641-1675), yang juga merupakan puteri dari Sultan Iskandar Muda.

Makam Sultan Iskandar Muda

¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯

SOSOK DAN PEMIKIRAN-PEMIKIRAN SANG SULTAN

Sultan Iskandar Muda
Sultan Iskandar Muda merupakan pahlawan nasional yang telah banyak berjasa dalam proses pembentukan karakter yang sangat kuat bagi nusantara dan Indonesia. Selama menjadi raja, Sultan Iskandar Muda menunjukkan sikap Anti-kolonialisme-nya. Ia bahkan sangat tegas terhadap kerajaan-kerajaan yang membangun hubungan atau kerjasama dengan Portugis, sebagai salah satu penjajah pada saat itu. Sultan Iskandar Muda mempunyai karakter yang sangat tegas dalam menghalau segala bentuk dominasi kolonialisme. Sebagai contoh, Kurun waktu 1573-1627 Sultan Iskandar Muda pernah melancarkan jihad perang melawan Portugis sebanyak 16 kali, meski semuanya gagal karena kuatnya benteng pertahanan musuh. Kekalahan tersebut menyebabkan jumlah penduduk turun drastis, sehingga Sultan Iskandar Muda mengambil kebijakan untuk menarik seluruh pendudukan di daerah-daerah taklukannya, seperti di Sumatera Barat, Kedah, Pahang, Johor  dan Melaka, Perak, serta Deli , untuk migrasi ke daerah Aceh inti.

Pada saat berkuasa, Sultan Iskandar Muda membagi aturan hukum dan tata negara ke dalam Empat bidang yang kemudian dijabarkan secara praktis sesuai dengan tatanan kebudayaan masyarakat Aceh.  
  1. Pertama, bidang Hukum yang diserahkan kepada Syaikhul Islam atau Qadhi Malikul Adil. Hukum merupakan asas tentang jaminan terciptanya keamanan dan perdamaian. Dengan adanya hukum diharapkan bahwa peraturan formal ini dapat menjamin dan melindungi segala kepentingan rakyat.
  2. Kedua, bidang Adat yang diserahkan kepada kebijaksanaan Sultan dan Penasehat. Bidang ini merupakan perangkat undang-undang yang berperan besar dalam mengatur tata negara tentang martabat hulu balang dan pembesar kerajaan.
  3. Ketiga, bidang Resam yang merupakan urusan Panglima. Resam adalah peraturan yang telah menjadi adat istiadat (kebiasaan) dan diimpelentasikan melalui perangkat hukum dan adat. Artinya, setiap peraturan yang tidak diketahui kemudian ditentukan melalui resam yang dilakukan secara gotong-royong.
  4. Keempat, bidang Qanun yang merupakan kebijakan Maharani Putro Phang sebagai permaisuri Sultan Iskandar Muda. Aspek ini telah berlaku sejak berdirinya Kerajaan Aceh.
Sultan Iskandar Muda dikenal sebagai raja yang sangat tegas dalam menerapkan Syariat Islam. Ia bahkan pernah melakukan Rajam terhadap puteranya sendiri, yang bernama Meurah Pupok karena melakukan perzinaan dengan istri seorang perwira. Sultan Iskandar Muda juga pernah mengeluarkan kebijakan tentang pengharaman riba. Tidak aneh jika kini Nanggroe Aceh Darussalam menerapkan Syariat Islam karena memang jejak penerapannya sudah ada sejak zaman dahulu kala. Sultan Iskandar Muda juga sangat menyukai Tasawuf.

Sultan Iskandar Muda pernah berwasiat agar mengamalkan Delapan Perkara, Sang Sultan berwasiat kepada para Wazir, Hulubalang, Pegawai, dan Rakyat di antaranya adalah sebagai berikut :
  1. Pertama, agar selalu ingat kepada Allah Ta'ala dan memenuhi janji yang telah diucapkan.
  2. Kedua, jangan sampai para Raja menghina Alim Ulama dan Ahli Bijaksana.
  3. Ketiga, jangan sampai para Raja percaya terhadap apa yang datang dari pihak musuh.
  4. Keempat, para Raja diharapkan membeli banyak senjata. Pembelian senjata dimaksudkan untuk meningkatkan kekuatan dan pertahanan kerajaan dari kemungkinan serangan musuh setiap saat.
  5. Kelima, hendaknya para raja mempunyai sifat Pemurah (turun tangan). Para raja dituntut untuk dapat memperhatikan nasib rakyatnya.
  6. Keenam, hendaknya para raja menjalankan hukum berdasarkan Al-Qur‘an dan Sunnah Rasul.
  7. Ketujuh, di samping kedua sumber tersebut, sumber hukum lain yang harus dipegang adalah Qiyas dan Ijma‘.
  8. Kedelapan, baru kemudian berpegangan pada Hukum Kerajaan ,  Adat ,  Resam, dan Qanun.
Wasiat-wasiat tersebut mengindikasikan bahwa Sultan Iskandar Muda merupakan pemimpin yang saleh, bijaksana, serta memperhatikan kepentingan Agama, Rakyat, dan Kerajaan.

Meuligoe Aceh Tempoe Doeloe

Hamka melihat kepribadian Sultan Iskandar Muda sebagai pemimpin yang saleh dan berpegangan teguh pada prinsip dan syariat Islam. Tentang kepribadian kepemimpinannya, Antony Reid melihat bahwa Sultan Iskandar Muda sangat berhasil menjalankan kekuasaan yang otoriter, sentralistis, dan selalu bersifat ekspansionis. Karakter Sultan tersebut memang banyak dipengaruhi oleh sifat kakeknya. Kejayaan dan kegemilangan Kerajaan Aceh pada saat itu memang tidak luput dari karakter kekuasaan monarkhi karena model kerajaan berbeda dengan konsep kenegaraan modern yang sudah demokratis.

Surat Sultan Iskandar Muda kepada Raja Inggris King James I, Pada tahun 1615 merupakan salah satu karyanya yang sungguh mengagumkan. Surat (manuskrip) tersebut berbahasa Melayu, dipenuhi dengan hiasan yang sangat indah berupa motif-motif kembang, tingginya mencapai satu meter, dan konon katanya surat itu termasuk Surat Terbesar Sepanjang Sejarah. Surat tersebut ditulis sebagai bentuk keinginan kuat untuk menunjukkan kepada Dunia internasional betapa pentingnya Kerajaan Aceh Darussalam sebagai Kekuatan Utama di Dunia.

¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯


B I S M I L L A A H I R R A H M A A N I R R A H I I M . . . MARI B E R S A M A B E R B A G I R A N G K A I A N C E R I T A, G O R E S A N K I S A H, K E K U A T A N A Q I D A H, DAN K E T A J A M A N P E N G E T A H U A N . . . . . "KUTITIPKAN SENYUMKU, DI SEJUTA MANIS SENYUMNYA...

Suka

Share to Facebook >>