Jika hidup tak lagi setegar karang, apa yang hendak dikata bersebab semua telah tergelincir dalam asa. Seolah tak lagi ada bangga, kini aku serupa bintang di pojok rembulan yang terkena luka. Sempat terpikir olehku untuk tak lagi kembali pulang, sebab pulang ke kampung halaman sama saja mengguratkan luka. Memang wajah masih tetap terlihat muda, namun umur sudah mendekati kepala tiga. Banyak yang berbisik kepadaku untuk mengakhiri masa lajang, bersanding dengan pemuda pilihan orang tua. Namun, bagaimana mungkin aku menikah dengan mereka yang rata-rata menginginkanku menjadi istri yang diam di rumah? Aku tak bisa melakukan itu, sebab aku tak ingin hidup ini dimanfaatkan tanpa menggali ilmu atau sekedar berbagi ilmu. Bagiku ilmu dunia dan akhirat begitu penting bukan kepalang. Acap kali para tetangga juga ikut berdendang.
“Mekar, kursi pelaminan sudah lapuk menunggumu untuk segera bertandang.” Ah, mereka tak mengerti. Selalu saja pandainya hanya menyindir, padahal membangun rumah tangga bukanlah hanya karena perkara umur yang sudah mulai tua. Bagiku membina rumah tangga bukanlah hanya bertujuan untuk hidup bahagia, tapi rumah tangga adalah keputusan untuk siap menjalankan tanggung jawab besar sebagai seorang istri yang harus turut pada suami. Kuputuskan untuk kembali ke kota, di sana kuharap pikiranku lebih tenang ketimbang memikirkan tentang pernikahan. Ada beberapa proposal mahasiswa yang harus kubimbing, beberapa pertemuan rapat para dosen berprestasi dari berbagai universitas negeri, pula persiapanku untuk wisuda S2 yang akan dilaksanakan seminggu lagi.
Hidup di kota kurasa lebih bebas, tak serupa dengan di kampung halaman. Umur dua puluh dua tahun saja para gadis sudah dipaksa menikah oleh orangtuanya. Syukurlah aku punya orang tua yang memahami kehendakku. Mereka yakin suatu saat aku juga akan menikah. Meski pun entah mengapa akhir-akhir ini, acap kali ternyata hati ingin berterus terang tentang sepi. Sepi di hati adalah luka karena masih sendiri.
“Aku ingin menikah, Bu. Sungguh, sangat ingin.” Suatu malam pada ibu kutuangkan niat hati. Ibu membelai kepalaku, mengusap air mata di pipiku.
“Bodoh, menangis! Kau ini terpelajar anakku, jangan dengarkan mereka. Luruskan saja niatmu, insya Allah suatu saat Ilahi Rabbi akan memberikan suami yang dapat membahagiakanmu dunia dan akhirat.” Ibuku, betapa nasihat beliau menjadi penguat batinku.
* * * *
Maka kuniatkan, suci hati berserah diri pada ketentuan Ilahi. Akhirnya benar saja, lelaki itu telah datang. Aku sangat bahagia, ia duduk di sampingku. Ia mengenggam tanganku, memberikan senyum terindahnya. Kali ini ia semakin terlihat gagah karena balutan jas pengantin yang ia kenakan. Astaga! Aku tersadar bahwa aku sedang berada di pelaminan. Ibu juga ikut tersenyum menyaksikanku, semua orang berbondong-bondong datang dan mengucapkan selamat. Aku terharu. Aku memandang lekat wajah pemuda yang duduk di sampingku ini, agaknya wajah yang begitu akrab di pelupuk mataku. Aku mengucek mata tak percaya, bagaimana mungkin lelaki ini bisa menjadi suamiku? Ia Rasid, tetanggaku dan teman kecilku. Ibunya lah yang selama ini menyindirku untuk segera naik ke pelaminan yang lapuk.
Ah, semua tampak gelap dan sekejap terasa semu. Aku sempat lupa, saat Rasid menggungkapkan hatinya di palung senja, mengirimkanku air mata sebentuk pernyataan cinta. Pun ibunya yang ternyata berharap besar agar aku menjadi menantunya.
* Zuliana Ibrahim, lahir di Takengon, 13 Juli 1990. Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Bergiat di Komunitas Penulis Anak Kampus.
“Mekar, kursi pelaminan sudah lapuk menunggumu untuk segera bertandang.” Ah, mereka tak mengerti. Selalu saja pandainya hanya menyindir, padahal membangun rumah tangga bukanlah hanya karena perkara umur yang sudah mulai tua. Bagiku membina rumah tangga bukanlah hanya bertujuan untuk hidup bahagia, tapi rumah tangga adalah keputusan untuk siap menjalankan tanggung jawab besar sebagai seorang istri yang harus turut pada suami. Kuputuskan untuk kembali ke kota, di sana kuharap pikiranku lebih tenang ketimbang memikirkan tentang pernikahan. Ada beberapa proposal mahasiswa yang harus kubimbing, beberapa pertemuan rapat para dosen berprestasi dari berbagai universitas negeri, pula persiapanku untuk wisuda S2 yang akan dilaksanakan seminggu lagi.
Hidup di kota kurasa lebih bebas, tak serupa dengan di kampung halaman. Umur dua puluh dua tahun saja para gadis sudah dipaksa menikah oleh orangtuanya. Syukurlah aku punya orang tua yang memahami kehendakku. Mereka yakin suatu saat aku juga akan menikah. Meski pun entah mengapa akhir-akhir ini, acap kali ternyata hati ingin berterus terang tentang sepi. Sepi di hati adalah luka karena masih sendiri.
“Aku ingin menikah, Bu. Sungguh, sangat ingin.” Suatu malam pada ibu kutuangkan niat hati. Ibu membelai kepalaku, mengusap air mata di pipiku.
“Bodoh, menangis! Kau ini terpelajar anakku, jangan dengarkan mereka. Luruskan saja niatmu, insya Allah suatu saat Ilahi Rabbi akan memberikan suami yang dapat membahagiakanmu dunia dan akhirat.” Ibuku, betapa nasihat beliau menjadi penguat batinku.
* * * *
Maka kuniatkan, suci hati berserah diri pada ketentuan Ilahi. Akhirnya benar saja, lelaki itu telah datang. Aku sangat bahagia, ia duduk di sampingku. Ia mengenggam tanganku, memberikan senyum terindahnya. Kali ini ia semakin terlihat gagah karena balutan jas pengantin yang ia kenakan. Astaga! Aku tersadar bahwa aku sedang berada di pelaminan. Ibu juga ikut tersenyum menyaksikanku, semua orang berbondong-bondong datang dan mengucapkan selamat. Aku terharu. Aku memandang lekat wajah pemuda yang duduk di sampingku ini, agaknya wajah yang begitu akrab di pelupuk mataku. Aku mengucek mata tak percaya, bagaimana mungkin lelaki ini bisa menjadi suamiku? Ia Rasid, tetanggaku dan teman kecilku. Ibunya lah yang selama ini menyindirku untuk segera naik ke pelaminan yang lapuk.
Ah, semua tampak gelap dan sekejap terasa semu. Aku sempat lupa, saat Rasid menggungkapkan hatinya di palung senja, mengirimkanku air mata sebentuk pernyataan cinta. Pun ibunya yang ternyata berharap besar agar aku menjadi menantunya.
* Zuliana Ibrahim, lahir di Takengon, 13 Juli 1990. Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Bergiat di Komunitas Penulis Anak Kampus.