Percayalah... Suatu saat nanti... Kita 'kan dipertemukan kembali... Bintang... :)

Sabtu, 09 Juni 2012

Tahukah Anda: "Aceh Tak Pernah Berontak Kepada NKRI"



Di dalam buku-buku pelajaran sejarah dan media massa nasional, beberapa tahun sebelum terciptanya perdamaian di Aceh, kita sering mendengar istilah ‘Pemberontakan Rakyat Aceh’ atau ‘Pemberontakan Aceh’ terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejak zaman kekuasaan Bung Karno hingga presiden-presiden penerusnya, sejumlah ‘kontingen’ pasukan dari berbagai daerah—terutama dari Jawa—dikirim ke Aceh untuk ‘memadamkan’ pemberontakan ini. Kita seakan menerima begitu saja istilah ‘pemberontakan’ yang dilakukan Aceh terhadap NKRI.

Namun tahukah kita bahwa istilah tersebut sesungguhnya bias dan tidak tepat? Karena sesungguhnya—dan ini fakta sejarah—bahwa Aceh sebenarnya tidak pernah berontak pada NKRI, namun menarik kembali kesepakatannya dengan NKRI. Dua istilah ini, “berontak” dengan “menarik kesepakatan” merupakan dua hal yang sangat berbeda.

NKRI secara resmi baru merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Sedangkan Aceh Darussalam  berabad-abad sebelumnya telah merdeka, memiliki hukum kenegaraan (Qanun) nya sendiri, menjalin persahabatan dengan negeri-negeri seberang lautan, dan bahkan pernah menjadi bagian (protektorat) dari Kekhalifahan Islam Turki Utsmaniyah.

Jadi, bagaimana bisa sebuah negara yang merdeka dan berdaulat sejak abad ke-14 Masehi, bersamaan dengan pudarnya kekuasaan Kerajaan Budha Sriwijaya, dianggap memberontak pada sebuah Negara yang baru merdeka di abad ke -20?

Aceh Darussalam merupakan negara berdaulat yang sama sekali tidak pernah tunduk pada penjajah Barat. Penjajah Belanda pernah dua kali mengirimkan pasukannya dalam jumlah yang amat besar untuk menyerang dan menundukkanAceh, namun keduanya menemui kegagalan, walau dalam serangan yang terakhir Belanda bisa menduduki pusat-pusat negerinya.

Sejak melawan Portugis hingga VOC Belanda, yang ada di dalam dada rakyatAceh adalah mempertahankan marwah, harga diri dan martabat, Aceh Darussalam sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat berdasarkan Qanun Meukuta Alam yang bernafaskan Islam.

Saat itu, kita harus akui dengan jujur, tidak ada dalam benak Rakyat Aceh soal yang namanya membela Indonesia. Sudah ratusan tahun, berabad-abadKerajaan Aceh Darussalam berdiri dengan tegak bahkan diakui oleh dunia Timur dan Barat sebagai “Negara” yang merdeka dan berdaulat.

Istilah “Indonesia” sendiri baru saja lahir di abad ke-19. Jika diumpamakan dengan manusia, maka Aceh Darussalam adalah seorang manusia dewasayang sudah kaya dengan asam-garam kehidupan, kuat, dan mandiri, sedangkan “Indonesia” masih berupa jabang bayi yang untuk makan sendirisaja belumlah mampu melakukannya.

Banyak literatur sejarah juga lazim menyebut orang Aceh sebagai “Rakyat Aceh”, tapi tidak pernah menyebut hal yang sama untuk suku-suku lainnya di Nusantara. Tidak pernah sejarah menyebut orang Jawa sebagai rakyat Jawa, orang Kalimantan sebagai rakyat Kalimantan, dan sebagainya. Yang ada hanyaRakyat Aceh. Karena Aceh sedari dulu memang sebuah bangsa yang sudah merdeka dan berdaulat.

Kesediaan rakyat Aceh mendukung perjuangan bangsa Indonesia, bahkan dengan penuh keikhlasan menyumbangkan segenap sumber daya manusia dan hartanya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia—lebih dari daerah mana pun di seluruh Nusantara, adalah semata-mata karena rakyat Acehmerasakan ikatan persaudaraan dalam satu akidah dan satu iman dengan rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim.

Ukhuwah Islamiyah inilah yang mempersatukan rakyat Aceh dengan bangsa Indonesia. Apalagi Bung Karno dengan berlinang airmata pernah berjanji bahwa untuk Aceh, Republik Indonesia akan menjamin dan memberi kebebasan serta mendukung penuh pelaksanaan syariat Islam di wilayahnya. Sesuatu yang memang menjadi urat nadi bangsa Aceh.

Namun sejarah juga mencatat bahwa belum kering bibir Bung Karno mengucap, janji yang pernah dikatakannya itu dikhianatinya sendiri. Bahkan secara sepihak hak rakyat Aceh untuk mengatur dirinya sendiri dilenyapkan. Aceh disatukan sebagai Provinsi Sumatera Utara. Hal ini jelas amat sangat menyinggung harga diri rakyat Aceh.

Dengan kebijakan ini, pemerintah Jakarta sangat gegabah karena sama sekali tidak memperhitungkan sosio-kultural dan landasan historis rakyat Aceh. Bukannya apa-apa, ratusan tahun lalu ketika rakyat Aceh sudah sedemikian makmur, ilmu pengetahuan sudah tinggi, dayah dan perpustakaan sudah banyak menyebar seantero wilayah, bahkan sudah banyak orang Aceh yang menguasai bahasa asing lebih dari empat bahasa, di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Provinsi Sumatera Utara pada waktu itu, manusia-manusia yang mendiami wilayah itu masih berperadaban purba. Masih banyak suku-suku kanibal, belum mengenal buku, apa lagi baca-tulis. Hanya wilayah pesisir yang sudah berperadaban karena bersinggungan dengan para pedagang dari banyak negeri.

Saat perang mempertahankan kemerdekaan melawan Belanda pun, bantuan dariAceh berupa logistik dan juga pasukan pun mengalir ke Medan Area. Bahkan ketika arus pengungsian dari wilayah Sumatera Utara masuk ke wilayah Aceh,rakyat Aceh menyambutnya dengan tangan terbuka dan tulus. Jadi jelas, ketika Jakarta malah melebur Aceh menjadi Provinsi Sumatera Utara, rakyat Aceh amat tersinggung.

Tak mengherankan jika rakyat Aceh, dipelopori PUSA dengan Teungku Daud Beureueh, menarik kembali janji kesediaan bergabung dengan Republik Indonesia di tahun 1953 dan lebih memilih untuk bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII) yang lebih dulu diproklamirkan S. M. Kartosuwiryo di Jawa Barat. Ini semata-mata demi kemaslahatan dakwah dan syiar Islam. Dengan logika ini,Aceh bukanlah berontak atau separatis, tapi lebih tepat dengan istilah: menarik kembali kesediaan bergabung dengan republik karena tidak ada manfaatnya.

Pandangan orang kebanyakan bahwa Teungku Muhammad Daud Beureuehdan pengikutnya tidak nasionalis adalah pandangan yang amat keliru dan a-historis. Karena sejarah mencatat dengan tinta emas betapa rakyat Aceh danDaud Beureueh menyambut kemerdekaan Indonesia dengan gegap-gempita dan sumpah setia, bahkan dengan seluruh sisa-sisa kekuatan yang ada berjibaku mempertahankan kemerdekaan negeri ini menghadapi rongrongan konspirasi Barat.

Cara Pandang ‘Majapahitisme’

Mengatakan Aceh pernah melakukan pemberontakan terhadap NKRI merupakan cara pandang yang berangkat dari paradigma ‘Majapahitisme’. Bukan hal yang perlu ditutup-tutupi bahwa cara pandang Orde Lama maupun Baru selama ini terlalu Majapahitisme', semua dianggap sama dengan kultur Hindu. Bahkan simbol-simbol negara pun diistilahkan dengan istilah-istilah sansekerta, yang kental pengaruh Hindu dan paganisme yang dalam Akidah Islam dianggap sebagai syirik, mempersekutukan Allah SWT dan termasuk dosa yang tidak terampunkan.

Bukankah suatu hal yang amat aneh, suatu negeri mayoritas Islam terbesar dunia tapi simbol negaranya sarat dengan istilah Hindu. Ini merupakan suatu bukti tidak selarasnya aspirasi penguasa dengan rakyatnya. Padahal Islam tidak mengenal, bahkan menentang mistisme atau hal-hal berbau syirik lainnya. Rakyat Aceh sangat paham dan cerdas untuk menilai bahwa hal-hal seperti ini adalah sesuatu yang tidak bisa diterima.

Khususnya di Jawa, Sosio-kultural raja-raja dan masyarakat Jawa sampai saat ini sangat kental dengan nuansa Hinduisme, ini bisa dilihat dari berbagai macam Ritual dalam budaya masyarakat di Jawa hingga saat ini. Raja merupakan titisan dewa, suara raja adalah suara dewa. Sebab itu, di Jawa ada istilah “Sabda Pandhita Ratu” yang tidak boleh dilanggar. Ini sangat bertentangan dengan sosio-kultural para Sultan dan Sultanah di Kerajaan Aceh Darussalam. Dalam Islam, penguasa adalah pemegang amanah yang wajib mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hari akhir kelak kepada Allah SWT.

Kerajaan Aceh Darussalam saat diperintah oleh Sultan Iskandar Mudatelah memiliki semacam Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR-MPR) yang hak dan kewajibannya telah di atur dalam ‘Konstitusi Negara” Qanun Meukuta Alam. Ada pula Dewan Syuro yang berisikan sejumlah ulama berpengaruh yang bertugas menasehati penguasa dan memberi arahan-arahan diminta atau pun tidak. Aceh juga telah memiliki penguasa-penguasa lokal yang bertanggungjawab kepada pemerintahan pusat. Jadi, seorang penguasa di Kerajaan Aceh Darussalam tidak bisa berbuat seenaknya, karena sikap dan tindak-tanduknya dibatasi oleh Qanun Meukuta Alam yang didasari oleh nilai-nilai Qur'aniyah.

Jadi, jelaslah bahwa sosio-kultur antara Aceh dengan kerajaan-kerajaan Hindu amat bertolak-belakang. Aceh bersedia mendukung dan menyatukan diri dengan NKRI atas bujukan Soekarno, semata-mata karena meyakini tali ukhuwah Islamiyah. Namun ketika Aceh dikhianati dan bahkan di masa Orde Lama maupun Orde Baru diperah habis-habisan seluruh sumber daya alamnya, disedot ke Jawa, maka dengan sendirinya Aceh menarik kembali kesediaannya bergabung dengan NKRI. Aceh menarik kembali kesepakatannya, bukan memberontak. Ini semata-mata karena kesalahan yang dilakukan “Pemerintah Jakarta” terhadap Aceh.

Dan ketika Aceh Darussalam sudah mau bersatu kembali ke dalam NKRI,Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bersedia meletakkan senjatanya dan memilih jalan berparlemen, Aceh sekarang dipimpin seorang putera daerahnya lewat sebuah pemilihan yang sangat demokratis, maka sudah seyogyanya NKRI memperlakukan Aceh dengan adil dan proporsional.

Puluhan tahun sudah Aceh menyumbangkan kekayaannya untuk kesejahteraan seluruh Nusantara, terutama Tanah Jawa, maka sekarang sudah saatnya “Jawa” membangun Aceh. Mudah-mudahan ‘kesepakatan’ ini bisa menjadi abadi, semata-mata dipeliharanya prinsip-prinsip keadilan dan saling harga-menghargai.

Tahukah Anda: "Dasar Indonesia Bukanlah Pancasila"



Pemikiran Islam | Fimadani.com

Ustadz Ahmad Sarwat dalam kolom konsultasinya pernah ditanya terkait dengan pernyataan Dr. Eggi Sudjana, SH. Msi., yang dalam kesempatan sebelumnya melakukan debat dengan Abdul Muqsith dari kelompok Islam Liberal dan Pluralisme Agama di salah satu stasiun televisi yang disiarkan secara nasional. 

Debat ini dilakukan menyikapi bentrokan yang terjadi antara AKK-BB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) dengan FPI di Monumen Nasional karena pertentangan dalam menghadapi kasus aliran sesat Ahmadiyah di Indonesia.

Dalam menanggapi hal tersebut, Ustadz Ahmad Sarwat menyatakan hal berikut:

Memang cukup mengejutkan juga apa yang disampaikan oleh Dr. Eggi Sudjana, SH. Msi., dalam talkshow di TV swasta malam itu. Beliau menyebutkan bahwa kalau dicermati, ternyata justru negara Indonesia ini secara hukum bukanlah berdasarkan Pancasila. Sebaliknya, di dalam UUD 45 malah ditegaskan bahwa dasar negara kita adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dan sesuai dengan Preambule atau Pembukaan UUD 1945, Tuhan yang dimaksud tidak lain adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga secara hukum jelas sekali bahwa dasar negara kita ini adalah Islam atau hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala..

Pernyataan itu muncul saat berdebat dengan Abdul Muqsith yang mewakili kalangan AKK-BB. Saat itu Abdul Muqsith menyatakan bahwa Indonesia bukan negara Islam, bukan berdasarkan Al Quran dan hadits, tetapi berdasarkan Pancasila dan UUD 45.

Mungkin maunya Abdul Muqsith menegaskan bahwa Ahmadiyah boleh saja melakukan kegiatan yang bertentangan dengan ajaran Islam, toh negara kita kan bukan negara Islam, bukan berdasarkan Quran dan Sunnah.

Tetapi tiba-tiba Mas Eggi balik bertanya tentang siapa yang bilang bahwa dasar negara kita ini Pancasila? Mana dasar hukumnya kita mengatakan itu?

Abdul Muqsith cukup kaget diserang seperti itu. Rupanya dia tidak siap ketika diminta untuk menyebutkan dasar ungkapan bahwa negara kita ini berdasarkan Pancasila dan UUD 45.

Saat itulah mas Eggi langsung menyebutkan bahwa yang ada justru UUD 45 menyebutkan tentang dasar negara kita adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan Pancasila. Sebagaimana yang disebutkan dalam UUD 45 pasal 29 ayat 1.

Kalau dipikir-pikir, ada benarnya juga apa yang dikatakan oleh Eggi Sujana itu. Iya ya, mana teks resmi yang menyebutkan bahwa dasar negara kita ini Pancasila. Kita yang awam ini agak terperangah juga mendengar seruan itu.

Entahlah apa ada ahli hukum lain yang bisa menjawabnya. Yang jelas, si Abdul Muasith itu hanya bisa diam saja, tanpa bisa menjawab apa yang ditegaskan leh Eggi Sujana.

Dan rasanya kita memang tidak atau belum menemukan teks resmi yang menyebutkan bahwa dasar negara kita ini Pancasila.

Diskusi itu menjadi menarik, lantaran kita baru saja tersadar bahwa dasar negara kita menurut UUD 45 ternyata bukan Pancasila sebagaimana yang sering kita hafal selama ini sejak SD. Pasal 29 UUD 45 ayat 1 memang menyebutkan begini:

“1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Lalu siapakah Tuhan yang dimaksud dalam pasal ini, jawabannya menurut Eggi adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.. Karena di pembukaan UUD 45 memang telah disebutkan secara tegas tentang kemerdekaan Indonesia yang merupakan berkat rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala..

Dalam argumentasi mas Eggi, yang namanya batang tubuh dengan pembukaan tidak boleh terpisah-pisah atau berlawanan. Kalau di batang tubuh yaitu pasal 29 ayat 1 disebutkan bahwa negara berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, maka Tuhan itu bukan sekedar Maha Esa, juga bukan berarti tuhannya semua agama. Tetapi tuhannya umat Islam, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala..

Hal itu lantaran secara tegas Pembukaan UUD 45 menyebutkan lafadz Allah Subhanahu wa Ta’ala.. Dan hal itu tidak boleh ditafsirkan menjadi segala macam tuhan, bukan asal tuhan dan bukan tuhan-tuhan buat agama lain. Tuhan Yang Maha Esa di pasal 29 ayat 1 itu harus dipahami sebagai Allah Subhanahu wa Ta’ala., bukan Yesus, bukan Bunda Maria, bukan Sidharta Gautama, bukan dewa atau pun tuhan-tuhan yang lain.

Lepas apakah nanti ada ahli hukum tata negara yang bisa menepis pandangan Eggi Sujana itu, yang pasti Abdul Muqsith tidak bisa menjawabnya. Dan pandangan bahwa negara kita ini bukan negara Islam serta tidak berdasarkan Quran dan Sunnah, secara jujur harus kita akui harus dikoreksi kembali.

Sebab kalau kita lihat latar belakang semangat dan juga sejarah terbentuknya UUD 45 oleh para pendiri negeri ini, nuansa Islam sangat kental. Bahkan ada opsi yang cukup lama untuk menjadikan negara Indonesia ini sebagai negara Islam yang formal.

Bahkan awalnya, sila pertama dari Pancasila itu masih ada tambahan 7 kata, yaitu:

“dengan menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya”.

Namun lewat tipu muslihat dan kebohongan yang nyata, dan tentunya perdebatan panjang, 7 kata itu harus dihapuskan. Sekedar memperhatikan kepentingan kalangan Kristen yang merasa keberatan dan main ancam mau memisahkan diri dari NKRI.

Padahal 7 kata itu sama sekali tidak mengusik kepentingan agama dan ibadah mereka. Toh Indonesia ini memang mayoritas muslim, tetapi betapa lucunya, tatkala pihak mayoritas mau menetapkan hukum di dalam lingkungan mereka sendiri lewat Pancasila, kok bisa-bisanya orang-orang di luar agama Islam pakai acara protes segala. Padahal apa urusannya mereka dengan 7 kata itu.

Kalau dipikir-pikir, betapa tidak etisnya kalangan Kristen saat awal kita mendirikan negara, di mana mereka sudah ikut campur urusan agama lain, yang mayoritas pula. Sampai mereka berani nekat mau memisahkan diri sambil berdusta bahwa Indonesia bagian timur akan segera memisahkan diri kalau 7 kata itu tidak dihapus.

Akhirnya dengan legowo para ulama dan pendiri negara ini menghapus 7 kata itu, demi untuk persatuan dan kesatuan. Tapi apa lacur, air susu dibalas air tuba. Alih-alih duduk rukun dan akur, kalangan Kristen yang didukung kalangan sekuler itu tidak pernah berhenti ingin menyingkirkan Islam dari negara ini.

Dan semangat penyingkiran Islam dari negara semakin menjadi-jadi dengan adanya penekanan asas tunggal di zaman Soeharto. Semua ormas apalagi orsospol wajib berasas Pancasila.

Sesuatu yang di dalam UUD 45 tidak pernah disebut-sebut. Malah yang disebut justru negara ini berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan Tuhan yang dimaksud itu adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. sesuai dengan yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 45.

Jadi sangat tepat kalau kalangan sekuler harus sibuk membuka-buka kembali literatur untuk cari-cari argumen yang sekiranya bisa membuat Islam jauh dari negara ini.

Namanya perjuangan, pasti mereka akan terus mencari dan mencari argumen-argumen yang sekiranya bisa dijadikan bahan untuk dijadikan alibi yang menjauhkan Islam dari negara. Sebab mereka memang alergi dengan Islam. Seolah-olah Islam itu harus dimusuhi, atau merupakan bahaya laten yang harus diwaspadai.

Kita harus akui bahwa kalangan sekuler anti Islam itu cukup banyak. Dalam kepala mereka, mungkin lebih baik negara ini menajdi komunis dari pada jadi negara Islam. Na'uzubillah...

Saya Adalah Aceh



Oleh Mariska Lubis

Terpana menatap sebuah foto tua dengan gambar seorang pria yang sangat tampan. Sorot matanya lembut namun sangat tajam, tampak jelas intelektualitasnya. Setelah tahu, siapa yang ada di dalam foto itu, hati ini pun semakin terpesona. Jarang sekali ada pria tampan yang jenius seperti beliau. Biarpun disisihkan dan dibuang meski dielukan juga. Tidak mudah untuk mengerti mereka yang berpikiran jauh ke depan.

Tadinya saya pikir beliau adalah ayah dari salah seorang sahabat saya karena wajahnya sangat mirip. Aura dan rona dari wajah dan penampilannya pun serupa. Saya benar-benar terpana menatapnya. Barangkali, jika beliau masih ada dan muda seperti nampak di dalam foto itu, saya bisa jatuh cinta padanya.

Ketika saya diberitahu siapa yang ada di dalam foto itu, saya semakin jatuh cinta saja. Dia memang seorang pria yang sangat jenius dan luar biasa kemampuan intelektualitasnya. Sayangnya, bahkan mereka yang mengelu-elukannya pun barangkali tidak bisa merasakan dan menangkap dengan lebih jauh arti dan makna dari setiap kata yang diuraikannya. Beliau malah disia-siakan dan disingkirkan begitu saja. Hanya dijadikan simbol semata.

Yah, nasib orang yang memiliki pemikiran modern. Terlalu banyak mereka yang mengaku modern tetapi sesungguhnya sangat terbelakang di dalam pemikiran. Penampilannya saja yang kelihatan hebat, tetapi untuk membaca pun hanya mampu sekedar aksara semata. Mata hati itu sudah tertutup dengan kesombongan dan berbagai kepentingan pribadi serta kelompok hingga lupa diri dan besar kepala.

Saya pernah menulis artikel tentang bagaimana untuk bisa mengerti apa yang beliau maksudkan. Tentunya tidak semudah membaca aksara begitu saja, dibutuhkan pemikiran yang sangat dalam serta wawasan yang sangat luas sekali. Harus tahu bagaimana sejarah tentang apa yang mempengaruhi pemikiran-pemikirannya tersebut. Jika tidak, maka akan sangat sulit untuk mampu menerjemahkannya.

Bisa jadi, saya yang memang sok tahu atau tidak waras. Saya melihat beliau dari sudut pandang saya sendiri yang tentunya merupakan keegoisan dari diri saya sendiri juga. Yang lebih banyak tahu seharusnya mereka yang memang menjadikan beliau panutan dan mengelu-elukannya, kan?! Begitu juga dengan mereka yang menganggapnya sampah dan mengucilkannya. Saya tahu apa, sih?!

Jadi teringat dengan kata-kata seorang teman di BBM yang dia bagikan juga di Tweet, dia mengatakan bahwa di daerahnya, sejarah adalah untuk diingat lewat ucapan dan bukan melalui catatan atau tulisan. Saya tentunya sangat terkejut sekali, mengingat dia berasal dari daerah yang kaya sekali akan catatan sejarah. Kata-kata yang terurai dari orang-orang di sana terkenal sangat indah dan penuh makna pada waktu yang lalu. Pantas saja bila sekarang banyak yang berubah. Entah ini disengaja atau tidak, disadari atau tidak disadari, diakui tidak diakui.

Wajar jugalah bila kemudian daerah ini terus diliputi konflik yang berkepanjangan. Bagaimana mungkin sebuah wilayah bila mendapatkan perdamaiannya bila sudah kehilangan jati dirinya? Bagaimana juga bisa menjadi hebat bila sudah melupakan sejarah yang pernah membuatnya luar biasa?! Bagaimana sebuah wilayah bisa bertahan dan mempertahankan diri bila tidak memiliki kekuatan yang berasal dari dalam dirinya sendiri?! Yakin dan percaya dengan diri sendiri pun tidak.

Jika memang benar memiliki jati diri, tentunya tidak akan mudah digoyah dan mampu mempertahankan diri menggunakan kehebatannya. Tidak mudah untuk “menyerang” dan “melumpuhkan” bila memang sudah kuat pondasinya. Dinding bisa saja roboh tetapi pondasi yang kuat akan terus bisa mempertahankannya. Pohon yang kuat pun bisa saja tumbang dahan dan gugur daunnya, tetapi tidak akarnya.

Jika pun memang benar menghormati sejarah dan semua perjuangan yang telah dilakukan di masa lampau, tentunya pria tampan berotak jenius itu pun tidak akan diremehkan begitu saja. Tidak hanya dijadikan simbol semata tetapi benar dipelajari dan dirasakan. Keindahan seseorang yang telah memberikan yang terbaik, kok, bisa terhapus begitu saja oleh “kepentingan” pribadi dan kelompok?! Bagaimana dengan cita-cita dan seluruh perjuangannya itu?! Rasa hormat dan penghargaan bukan hanya sekedar di mulut tetapi diperlukan kesungguhan dan ketulusan hati!

Yang paling membuat saya terbengong-bengong adalah bila selalu saja ada tuduhan dan tudingan yang mengarahkan kepada yang lainnya. Malu atau takut, ya, kalau bercermin?! Tidak juga memiliki nyali untuk mengakui semua kesalahan yang telah dibuat oleh diri?! Padahal, selalu saja mengumbar kata “Tuhan” dan mengagungkan segala moral dan aturan yang dibuat-Nya. Kenapa, dong, yang paling mendasar pun tidak dilakukan?! Untuk apa semua aturan itu dibuat bila hanya untuk sekedar penampilan dan untuk mendapatkan “nilai”?!

Sekarang ini, di mana semua yang ada itu?! Kenapa berusaha keras untuk menjadi yang lain?! Kenapa tidak berusaha untuk menjadi diri sendiri?! Memang tidak mudah, tetapi jika memang benar ingin bahagia, damai, dan tentram, tentunya jati diri seharusnya menjadi prioritas utama. Untuk apa repot-repot menjadi “yang lain” bila apa yang ada di dalam diri sesungguhnya merupakan emas terindah dan paling berharga?! Tidakkah ada rasa cinta sedikit pun untuk diberikan?!

Terkadang saya suka capek sendiri jika harus melihat fakta dan kenyataan yang ada sekarang ini di daerah itu. Mengaku hebat tetapi justru sudah banyak terpengaruh. Budaya politiknya saja sudah sangat berubah, tidak lagi mampu untuk menggetarkan dunia. Sudah seperti katak saja. Yang ada di samping disingkirkan, sementara yang di bawah terus diinjak. Sementara mulut terus menganga menanti umpan yang lewat untuk dinikmati sendiri hingga kenyang. Menjulurkan lidah ke kiri kanan sepanjang-panjangnya untuk bisa menangkap santapan. Lupa dengan yang lainnya meski mengaku peduli dan berbuat untuk semua. Bagaimana mau memiliki masa depan dan kehidupan yang lebih baik?!

Lihat saja bagaimana mudahnya masyarakat digiring oleh opini yang dibuat oleh media-media “berbayar”. Subjektifitas dikedepankan dan objektifitas itu sudah tidak ada lagi. Sudah seperti bola yang ditendang ke sana ke mari tanpa pernah gol. Yang paling parah bukanlah mereka yang berstatus sosial ekonomi rendah ataupun tak berpendidikan, tetapi justru mereka yang mengaku elite dan berpendidikan tinggi. Mereka yang mengaku pejuang dan pahlawan! Semakin jelas sudah bagaimana pembodohan dan kebodohan itu sudah menjadi sebuah kubangan lumpur yang terus menyeret ke dalam. Tak jelas apa karena sombong, takut, atau pura-pura tidak tahu.

Dusta itu sudah sedemikian luar biasanya hingga merusak diri sendiri. Pelecehan seksual, KDRT, dan berbagai masalah seks lainnya pun ditutupi seolah tak ada. Mereka yang jelas-jelas sudah melakukan perbuatan kriminal terhadap istri dan keluarganya sendiri pun bisa dipuja. Mereka yang sudah jelas-jelas melecehkan orang yang menjadi simbol daerah itu pun terus saja diangkat-angkat. Bagaimana orang yang benar-benar berjuang untuk masa depan dan kehidupan lebih baik tidak mati?! Baru bergerak sedikit saja sudah “dibunuh”! Apanya yang hebat?! Beranikah mengaku secara jujur dan terang-terangan kepada semua atas apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang sudah dilakukan?! Paling-paling juga mengirim orang suruhan yang mau saja dibodohi dengan berbagai alasannya untuk membuntuti, memata-matai, lalu ujung-ujungnya “melenyapkan”. Pemberanikah?!

Sudahlah! Percuma juga saya menuliskan semua ini. Tidak akan ada gunanya. Saya juga hanya “alien” yang sok tahu saja. “Kekinian” memang sudah menjadi budaya yang dianggap wajar, lumrah, dan benar sekarang ini. Masa depan itu seolah tak pernah ada dan kehidupan yang lebih baik hanyalah mimpi di siang bolong. Yang penting sekarang, nanti ya, bagaimana nanti! Begitu, kan, ya?!

Akhir kata, saya ingin menyampaikan saja bahwa pria yang sudah membuat saya terpesona dan jatuh cinta itu bernama Hasan Tiro. Semoga semua mau menghormati dan menghargainya terutama bagi mereka yang berani untuk mengaku dengan gagah berani sebagai “ureung aceh”. Kapankah ada yang dengan bangganya mampu berkata dengan kesungguhan hati bahwa “Saya adalah Aceh”?!

Berani Menjadi "Aceh"



Silahkan saja bila para Generasi Tua ini ingin terus berkonflik dan merusak, tetapi jangan pernah merusak Generasi yang akan datang. Janganlah pernah berkata bahwa semua yang dilakukan adalah karena Cinta kepada anak-anak bangsa, bila memang terus saja mencoba melenyapkan dan menghilangkan jati diri Generasi muda.

Oleh Mariska Lubis (*
Di tengah suasana yang tidak karuan di Aceh seperti sekarang ini, teringat akan sebuah nasehat yang disampaikan oleh seorang kakek. Dia pernah berkata, yang isinya kira-kira, “Yang sebaiknya kamu pelajari dari Aceh adalah kemampuan orang Aceh di dalam berdiplomasi. Kemenangan mereka di dalam perjuangan bukanlah menggunakan kekuatan fisik, tetapi keahlian di dalam berpikir dan berkata”.

Beliau bercerita beragam contoh yang pernah dilakukan oleh para pemimpin Aceh pada masa perjuangan dahulu, yang juga beliau sedikit uraikan dalam bukunya yang berjudul “Kilas Balik Revolusi”. Satu cerita yang paling saya ingat adalah ketika beliau dikirim oleh orang tuanya bersama anak-anak Aceh yang lain untuk belajar di luar negeri. Tentunya, tidak semudah sekarang ini bisa mengirim anak ke luar negeri. Bukan hanya urusan uang semata, tetapi juga urusan kepentingan politik.

Para orang tua mereka berdiplomasi kepada Belanda dengan dalih bahwa dengan mengirimkan anak-anak pribumi yang potensial belajar ke luar negeri, maka Belanda tidak perlu lagi repot di dalam mengurus dan mengatur segala urusan di Aceh. Mereka jadi bisa lebih pintar dan tahu banyak sehingga pada saat mereka pulang nanti, mereka dapat bekerja dan mengabdi pada Belanda. Yah, ini hanyalah sebuah taktik saja. Yang sebenarnya dilakukan adalah, untuk menjadikan generasi penerus mereka lebih pintar sehingga pada saat pulang nanti, bisa membantu perjuangan dan melawan Belanda. “Pergi dan bergaullah dengan Belanda, curi ilmu mereka dan gunakan untuk melawan mereka sendiri.”

Yah, memang banyak kontradiksi di dalam juga mengenai hal ini mengingat kebencian terhadap Belanda sangatlah tinggi. Ditambah lagi banyak ketakutan bahwa dengan mengirimkan generasi penerus ke luar negeri, maka mereka akan menjadi “kebarat-baratan” dan lupa akan akar budayanya sendiri. Yang paling ditakutkan tentunya soal agama dan keyakinan. Semua ini bisa dimengerti tetapi lagi-lagi kemampuan untuk meyakinkan bukan hanya pada mereka yang menentang tetapi juga pada generasi penerus yang sudah dipersiapkan ini, terbukti bahwa semua itu hanyalah ketakutan yang berlebihan semata.

Yang saya tahu pasti, tidak ada satu pun dari kakak beradik kakek saya yang dikirimkan, lalu berubah menjadi “Barat”, mereka justru sangat nasionalis dan berjuang terus bagi bangsa dan negaranya. Agama dan keyakinan mereka pun dipegang teguh dan tidak ada yang bisa mengubah mereka. Demikian juga dengan beberapa orang kawan mereka yang saya kenal, semuanya memiliki kepribadian yang sangat kuat dan berani. Almarhum Hasan Tiro?! Apakah dia pernah berubah?!

Maksud dari saya menyampaikan ini semua adalah untuk sekedar berbagi kenangan atas apa yang telah dilakukan oleh para pendahulu. Saya sedih bila melihat keadaan Aceh sekarang ini. Rasanya tidak percaya Aceh sudah kehilangan apa yang dulu pernah ada. Kecerdasan di dalam berpikir jauh ke depan itu sekarang berubah dengan kekinian. Lihatlah bagaimana situasi dan kondisi di dalam menjelang Pilkada sekarang ini.

Sesama orang Aceh sendiri saling baku hantam dan dengan cara-cara yang sangat mengkhawatirkan sekali. Kenapa harus dengan cara saling sikut dan menjatuhkan?! Mengapa tidak ada yang mau merangkul dengan penuh ketulusan tanpa ada maksud untuk kepentingan pribadi semata?! Mengapa tidak ada yang mau berbuat untuk semua selain hanya untuk “mencari nama” dan meraup suara?! Kapan konfilk di Aceh mau selesai bila orang Aceh-nya sendiri terus berkonflik dan tidak juga mau bersatu?!

Generasi muda yang merupakan cikal bakal tulang punggung pun sering dianggap enteng dan tidak penting, tetapi selalu digunakan dan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan politik. Darah muda yang terus bergejolak dan keberanian yang terkadang seringkali tidak mampu dikendalikan menjadi sasaran yang sangat empuk untuk menjadi bahan permainan. Apalagi bila dalam keadaan labil, bingung, dan tidak memiliki arah serta kepribadian yang kuat. Demokrasi dan kebebasan yang “ditanamkan” pun sesungguhnya hanyalah alat untuk “mencuci otak” dan mendapatkan tempat saja. Toh, kekuasaan masih terus mendominasi dan menjadi momok yang menakutkan karena ada banyak sekali ancaman dan kekerasan yang dilakukan. Jadi, jangan heran bila banyak yang menyesal di kemudian hari meski sudah kepalang basah dan tercemplung ke dalam lumpur.

Membaca apa yang dilakukan oleh Generasi Kuneng menantang para pemimpin dan seluruh orang Aceh untuk mendukung film “Garamku Tak Asin Lagi”, menjadi sebuah harapan di dalam hati ini. Saya salut! Paling tidak, ada generasi muda yang mampu melihat dengan jelas apa yang seharusnya dilakukan di dalam menghadapi situasi dan kondisi yang sekarang sedang terjadi. Menyatukan seluruh orang Aceh dan membangkitkan solidaritas kebersamaan untuk mendukung sesuatu yang positif menjadi sangat penting saat ini. Tidak perlu harus melihat siapa dan bagaimana, tetapi apa yang sudah dilakukan. Kreatifitas dan karya bukanlah sesuatu yang mudah untuk dibuat, karena itu perlu diapresiasi oleh bersama.

Menurut saya pribadi, inilah bagian dari apa yang saya maksudkan dengan kemampuan orang Aceh di dalam berpikir dan berdiplomasi. Tidak perlu ada kekerasan di dalamnya, tetapi jelas menggunakan tindakan dan perbuatan nyata yang mengandalkan pemikiran dan hati. Idealismenya nampak sangat jelas dan kuat, serta apa yang dilakukan bisa memberikan efek yang sangat positif baik untuk saat ini maupun nanti. Persis seperti apa yang sudah dilakukan oleh para pendahulu orang Aceh di masa perjuangan lalu meski dalam bentuk yang berbeda.

Silahkan saja bila para generasi tua ini ingin terus berkonflik dan merusak, tetapi jangan pernah merusak generasi yang akan datang. Janganlah pernah berkata bahwa semua yang dilakukan adalah karena cinta kepada anak-anak bangsa, bila memang terus saja mencoba melenyapkan dan menghilangkan jati diri generasi muda. Jangan pernah juga menuntut generasi muda untuk lebih maju dan berkembang bila yang tuanya pun selalu saja berpikiran dan memiliki hati yang “terkotak”.

Jangan salahkan internet dan budaya asing, deh!!! Lebih baik bercermin saja dulu, berani dan mampukah untuk jujur?! Benarkah sudah mampu memiliki cinta kepada generasi yang akan datang ini dengan menjadikan mereka sebagai generasi yang mandiri, cerdas, sehat, dan memiliki kepribadian yang kuat?! Bukan sebagai anak yang merasa dimiliki dan dikuasai lalu dituntut untuk membalas budi, ya!!!

Bagi generasi muda Aceh, jadilah Aceh yang sejatinya. Kuatkan dan perkokoh diri sebagai Aceh. Berpikir dan berperilakulah seperti layaknya seorang Aceh sejati. Jangan pernah takut dengan keadaan dan situasi karena kita tidak diatur oleh keadaan. Kitalah yang seharusnya bisa mengatur keadaan. Baik dan buruknya Aceh di masa depan ada di tangan kalian semua. Bersatulah untuk satu tujuan yang pasti!

Sekarang, sebagai seorang perempuan yang bukan orang Aceh dan tidak tinggal di Aceh, saya yang menantang semua generasi muda Aceh, “Beranikah kalian menjadi Aceh yang sekaligus pemimpin bagi diri sendiri?!”.

Makna Filosofi Sebilah Rencong



Meski tidak ditemukan catatan sejarah yang mengisahkan asal usul Rencong, namun asal mula Rencong terekam dalam sebuah legenda Aceh. Dalam sebuah cerita rakyat dikisahkan. "Zaman dahulu di daratan Aceh hidup seekor burung raksasa sejenis Rajawali, orang Aceh menyebutnya "Geureuda". Keberadaan burung raksasa tersebut sangat menggangu kehidupan rakyat. semua jenis tanaman, buah-buahan dan ternak rakyat dilahapnya.

Semua jenis perangkap dan senjata yag digunakan untuk membunuhnya tidak mapan, malah makin lama "Geureuda" tersebut makin beringas melahap tanaman rakyat, mungkin dari legenda itulah sampai sekarang orang Aceh menyebutkan "Geureuda" kepada orang – orang yang Serakah/Congok.

Oleh raja yang berkuasa ketika itu, menyuruh seorang pandai besi yang juga ulama untuk menciptakan sebuah senjata ampuh yang mampu membunuh Geureuda tersebut. Oleh pandai besi yang mempunyai ilmu maqfirat besi, setelah melakukan puasa, sembahyang sunat dan berdoa baru menempa besi pilihan dengan campuran beberapa unsur logam menjadi Rencong.

Menyebut senjata Rakyat Aceh, selain meriam dan senjata api, yang paling terkenal adalah Rencong. Bahkan, salah satu gelar tanah Aceh disebut juga sebagai “Tanah Rencong”. Rencong (Reuncong) adalah senjata tradisional dari Aceh. Rencong Aceh memiliki bentuk seperti huruf [ L ] atau lebih tepat seperti tulisan kaligrafi " Bismillah ". Rencong termasuk dalam kategori dagger atau belati (bukan pisau atau pedang).

Rencong selain simbol kebesaran para bangsawan, merupakan lambang keberanian para pejuang dan rakyat Aceh di masa perjuangan. Keberadaan rencong sebagai simbol keberanian dan kepahlawanan masyarakat Aceh terlihat bahwa hampir setiap pejuang Aceh, membekali dirinya dengan rencong sebagai alat pertahanan diri. Namun sekarang, setelah tak lagi lazim digunakan sebagai alat pertahanan diri, rencong berubah fungsi menjadi barang cinderamata yang dapat ditemukan hampir di semua toko kerajinan khas Aceh.

Menurut sejarahnya, rencong memiliki tingkatan. Pertama, rencong yang digunakan oleh raja atau sultan. Rencong ini biasanya terbuat dari gading (sarung) dan emas murni (bagian belatinya). Kedua, rencong-rencong yang sarungnya biasa terbuat dari tanduk kerbau atau kayu, sedangkan belatinya dari kuningan atau besi putih.

Bentuk rencong berbentuk kalimat bismillah, gagangnya yang melekuk kemudian menebal pada sikunya merupakan aksara Arab "Ba", bujuran gagangnya merupaka aksara "Sin", bentuk lancip yang menurun kebawah pada pangkal besi dekat dengan gagangnya merupakan aksara "Mim", lajur besi dari pangkal gagang hingga dekat ujungnya merupakan aksara "Lam", ujung yang meruncing dengan dataran sebelah atas mendatar dan bagian bawah yang sedikit keatas merupakan aksara "Ha".


Rangkain dari aksara Ba, Sin, Lam, dan Ha itulah yang mewujudkan kalimat Bismillah. Jadi pandai besi yang pertama kali membuat rencong, selain pandai maqrifat besi juga memiliki ilmu kaligrafi yang tinggi. Oleh karena itu , rencong tidak digunakan untuk hal-hal kecil yang tidak penting, apalagi untuk berbuat keji, tetapi rencong hanya digunakan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh dan berperang dijalan Allah.

Secara umum, ada empat macam rencong yang menjadi senjata andalan masyarakat Aceh.
  • Rencong Meucugek (Meucungkek), Disebut meucugek karena pada gagang rencong terdapat suatu bentuk panahan dan perekat yang dalam istilah Aceh disebut cugek atau meucugek. Cugek ini diperlukan untuk mudah dipegang dan tidak mudah lepas waktu menikam ke badan lawan atau musuh. 
  • Rencong Meupucok, Rencong ini memiliki pucuk di atas gagangnya yang terbuat dari ukiran logam yang pada umumnya dari emas. Gagang dari rencong meupucok ini kelihatan agak kecil, yakni pada pegangan bagian bawah. Namun, semakin ke ujung gagang ini semakin membesar. Jenis rencong semacam ini digunakan untuk hiasan atau sebagai alat perhiasan. Biasanya, rencong ini dipakai pada upacara-upacara resmi yang berhubungan dengan masaalah adat dan kesenian. 
  • Rencong Pudoi, Rencong jenis ini gagangnya lebih pendek dan berbentuk lurus, tidak seperti rencong umumnya. Terkesan, rencong ini belum sempurna sehingga dikatakan pudoi. Istilah pudoi dalam masyarakat Aceh adalah sesuatu yang diangap masih kekurangan atau masih ada yang belum sempurna. 
  • Rencong Meukuree, Perbedaan rencong meukuree dengan jenis rencong lain adalah pada matanya. Mata rencong jenis ini diberi hiasan tertentu seperti gambar ular, lipan, bunga, dan sebagainya. Gambar-gambar tersebut oleh pandai besi ditafsirkan dengan beragam macam kelebihan dan keistimewaan. Rencong yang disimpan lama, pada mulanya akan terbentuk sejenis aritan atau bentuk yang disebut kuree. Semakin lama atau semakin tua usia sebuah rencong, semakin banyak pula kuree yang terdapat pada mata rencong tersebut. Kuree ini dianggap mempunyai kekuatan magis. 
Rencong yang ampuh biasanya dibuat dari besi-besi pilihan, yang di padu dengan logam emas, perak, tembaga, timah dan zat-zat racun yang berbisa agar bila dalam pertempuran lawan yang dihadapi adalah orang kebal terhadap besi, orang tersebut akan mampu ditembusi rencong. Gagang rencong ada yang berbentuk lurus dan ada pula yang melengkung keatas. Rencong yang gagangnya melengkung ke atas disebut Reuncong Meucungkek, biasanya gagang tersebut terbuat dari gading dan tanduk pilihan.

 
Pembuat "Reuncong" (img: Serambinews.com) 

Bentuk meucungkek dimaksud agar tidak terjadinya penghormatan yang berlebihan sesama manusia, karena kehormatan yang hakiki hanya milik Allah semata. Maksudnya, bila rencong meucungkek disisipkan dibagian pinggang atau dibagian pusat, maka orang tersebut tidak bisa menundukkan kepala atau membongkokkan badannya untuk memberi hormat kepada orang lain karena perutnya akan tertekan dengan gagang meucungkek tersebut. 

Gagang meucungkek itu juga dimaksudkan agar, pada saat-saat genting dengan mudah dapat ditarik dari sarungnya dan tidak akan mudah lepas dari genggaman. Satu hal yang membedakan rencong dengan senjata tradisional lainnya adalah rencong tidak pernah diasah karena hanya ujungnya yang runcing saja yang digunakan.
***

Kisah "Yesus" Justru Tingkatkan Muallaf di Spanyol


Vicente Mota Alfaro

 10 Feb '09, ar-Rahmah.com  

Tiga belas tahun yang lalu Vicente Mota Alfaro adalah salah seorang pemeluk Kristen yang taat yang secara rutin mendatangi kelas Minggu dan membaca Injil setiap harinya.

Namun hari ini, dia tidak hanya seorang Muallaf, namun dia adalah Imam Masjid dari Pusat Kebudayaan Islam Valensia (CCIV).

Selain merupakan Muallaf pertama yang dipersilakan mengimami setiap kali sholat berjamaah, dia juga merupakan anggota Dewan Kepengurusan CCIV sejak 2005.

Pemimpin kelompok Muslim Valensia menetapkan Alfaro sebagai Imam besar, dan berterima kasih atas kerja kerasnya.

“Dia pantas kami pilih karena kehebatan pengetahuan agamanya”, kata El-Taher Edda Sekretaris Umum Liga Islam bagian Dialog dan Perdamaian.

Dia meyakini Alfaro telah menyebarkan pesan yang nyata mengenai Muallaf yang bergabung dalam kekuatan Islam.

Beberapa media setempat tidak lama lalu melaporkan adanya peningkatan jumlah Muallaf di Spanyol, tanpa adanya pertentangan dari pihak manapun.

Diperkirakan Muslim Spanyol berjumlah 1.5 juta dari 40 juta penduduk keseluruhan. Islam merupakan agama terbesar kedua setelah Kristen.

Ketika masyarakat bertanya kepada Alfaro bagaimana dia dapat menjadi seorang Muallaf, dia akan memberikan jawaban yang sederhana.

“Allah telah menjadikan Islam sebagai agama dan hidupku”, katanya mantap.

Saat itu Alfaro berusia 20 tahun dan masih berkuliah ketika dia memutuskan untuk menjadi Muallaf.

“Saya membaca Al-Quran, saya menemukan kebenaran tentang Nabi Isa dan saya putuskan menjadi Muallaf”.

Pada awalnya dia adalah seorang pemeluk Kristen yang taat.

“Dulunya saya rutin pergi ke Gereja tiap Minggu dan membaca Injil setiap harinya”.

“Pada saat itu saya tidak tahu sama sekali mengenai Islam”.

Dia mempunyai seorang tetangga Muslim Algeria yang memperkenalkannya pada Islam.

“Ketika berbincang-bincang dia mengatakan bahwa seluruh umat manusia adalah keturunan Adam dan Hawa, dan semuanya merupakan anak dari Nabi Ibrahim”, kenangnya.

“Saya terkejut mengetahui bahwa dalam Islam juga mengenal Adam, Hawa, dan Ibrahim”.

Perbincangan tersebut rupanya membuat Alfaro muda semakin ingin mengetahui tentang Islam.

“Selanjutnya, saya meminjam salinan Al-Quran dari perpustakaan”.

Dia membawanya pulang dan membaca salinan Al-Quran tersebut dengan teliti.

Namun titik balik bagi Alfaro datang ketika dia membaca kisah tentang Yesus (Nabi Isa) dan kejadian penyaliban.

“Sebelumnya yang saya ketahui adalah Yesus merupakan anak Tuhan yang diutus ke dunia untuk menebus dosa umat manusia, dan sebetulnya hal tersebut cukup mengganggu saya”.

“Dan saya temukan jawabannya dalam Al-Quran. Yesus tidak pernah disiksa ataupun disalib”.

Muslim meyakini Nabi Isa sebagai salah satu Rasul yang diberi penghormatan lebih.

Dalam Islam, Nabi Isa tidak mengalami penyaliban, namun diangkat ke surga dan akan diturunkan kembali pada akhir zaman untuk memerangi Dajjal Al-Masih dan akan membawa kemenangan dan kejayaan bagi Islam.

Dan kisah tersebut merubah keyakinan Alfaro untuk menjadi seorang Muallaf bernama Mansour.

“Dengan cepat saya menyadari bahwa Al-Quran adalah Kitab Tuhan yang sesungguhnya, dan saya tidak pernah menyesal menjadi seorang Muallaf”.

Percakapan Bush dengan Blair, Jelang Invansi Irak 2003



Baru-baru ini, sebuah pengadilan di Inggris meminta agar perbincangan telepon Mantan PM Inggris Tony Blair dan Mantan Presiden AS George W Bush dibeberkan.

Obrolan mereka berlangsung pada 2003, hanya dua hari sebelum invasi terhadap Irak. Perbincangan ini juga disinyalir sebagai keputusan resmi yang mereka ambil untuk menghancurkan Timur Tengah dengan menyerang Saddam Hussein.

Pengadilan meyakinkan bahwa akuntabilitas dari keputusan untuk memakai aksi militer terhadap negara lain ini sangat penting. Dengan kata lain, kita harus mendengarkan percakapan antara Tony dan George.

Beruntungnya, Albawaba karena kami bisa mendapatkan transkripnya dari Gedung Putih. (Kami memeras Gedung Putih dengan mengirimkan foto Presiden Obama yang tengah menghisap shisa).

Investigasi yang dilakukan oleh seorang mahasiswa kelas Pembelajaran Sosial di North Dakota mengungkapkan bahwa sebenarnya percakapan ini dilakukan secara langsung.

Percakapan terjadi atas permintaan Bush di Sizzler, sebuah restoran di Texas, pada 17 Maret. (Ia memilih Senin malam karena ketika itu setiap malam Senin Sizzler mengadakan All You Can Eat Udang).

Hati-hati, percakapan ini mungkin tidak sesuai bagi beberapa orang dewasa karena kontennya yang kekanak-kanakan.

(Secret Service memakai kode bagi kedua orang tersebut: Bush adalah Chuck Norris dan Blair adalah seseorang dari Inggris. Kami telah mengubah nama mereka menjadi nama aslinya).

Bush: Hai kau si keras kepala! (Sambil meng-headlock kepala PM dan mengacak-acak rambutnya dengan jemarinya). HaHaHa, ternyata banyak yang sepertinya! (Ia melepaskannya) bagaimana kabarmu, anak mama? (Mama mengacu pada Ratu) 
Blair: (membetulkan rambutnya dan tertawa kikuk) Aku baik-baik saja. Aku harap tadi kamu tak melakukan hal seperti itu, tapi itu lebih baik daripada the wedgie yang kau berikan pada David. Oh iya, ucapkan terimakasih pada Richard karena telah menjemputku di bandara menggunakan pick-up.
Bush: Oh jadi karena itu kau sekarang berbau Marlboro Lights dan taco! Aku benci bermobil dengannya! (Wakil Presiden Dick Cheney) ia merokok seperti cerobong asap. Dasar si pemarah tua itu. Baiklah, ayo kita membicarakan bisnis.
Blair: Bagus
Bush: Ini rencananya. Bagaimana kalau kita ke salad bar dulu, lalu mengambil steak dan menutupnya dengan segunung udang! Sebagai informasi, makanan laut membuatku sering kentut. 
Blair: Oh. Aku sudah makan di pesawat. Bukankah tempat ini hanya sebagai samaran? Maksudku, ini sangat cerdas. Siapa yang mengira kepala negara bakal datang kemari? (Bush menyimpan kembali piringnya ke meja, lalu duduk. Tetapi ia masih melihat bar udang) Sepertinya kita tidak memiliki hal yang bagus untuk melawan Saddam. Teori Senjata Penghancur ini telah benar-benar gagal.
Bush: Sekarang dengarkan aku. Orang ini mencoba untuk membunuh ayahku. Selain itu, si tua Wolfy (Paul Wolfowitz) berkata jika kita menjadikan Irak sebagai pangkalan strategis, begini temanku, kita akan mandi menggunakan minyak dan mengisi bensin pakai air.
Blair: aku tak tahu apa artinya itu, tapi aku menyukainya! Ayo kita tangkap dia! Kau tahu tidak, aku sepertinya akan makan. Aku selalu kelaparan setelah mengambil keputusan besar.
Bush: Anak yang baik, Tony! Ngomong-ngomong, makanannya aku yang bayar tapi minumannya kamu bayar sendiri.
Blair: Bagus sekali. Aku akan mengambil.. (Mencium bau) tunggu, bau apa ini..
Bush: Hehe, maaf teman. Tadi aku makan beberapa udang ketika aku menunggu pantat Inggrismu tiba. Sekarang, ayo kita berlari ke tempat sup!

Keterangan:
  • headlock: gerakan mencekik leher orng lain dibawah ketiak
  • Wedgie: menarik celana dalam seseorang dari belakang


Read more: http://www.atjehcyber.net/2012/06/inilah-isi-percakapan-bush-dan-mantan.html#ixzz1xJlXe9RW


B I S M I L L A A H I R R A H M A A N I R R A H I I M . . . MARI B E R S A M A B E R B A G I R A N G K A I A N C E R I T A, G O R E S A N K I S A H, K E K U A T A N A Q I D A H, DAN K E T A J A M A N P E N G E T A H U A N . . . . . "KUTITIPKAN SENYUMKU, DI SEJUTA MANIS SENYUMNYA...

Suka

Share to Facebook >>