“Bagaimana ini Nak? Emak tidak ada uang.” “Tak apa Mak, jika memang tak ada,” suara itu lirih, terbenam dalam bendungan di matanya. “Sudah nasib tak perlu bersedih, lebih baik aku menggembala kerbau saja,” ia berdamai dengan hatinya, dan pergi menuju hamparan sawah yang baru saja panen. Perempuan berusia senja itu terduduk lesu. Matanya menatap nanar sembari mengikuti bayagan Tuloet yang pergi mengembala. Ada beban di dadanya setelah suaminya pergi melaut dan tak pernah kembali. Entah masih hidup atau sudah mati, tapi Emak memang telah merelakan. Kini Emak menghabiskan waktu dengan menggarap sepetak sawah peninggalan suaminya untuk membesarkan Tuloet, putranya yang paling kecil.
Sedangkan Tuloet tak ingin membebankan Emak. Dia bekerja mengembala kerbau punya Apa Mud, saudagar ternama di kampungnya. Dia pergi ketika mentari menyembul dari timur, menembus belantara mencari rumput hijau, berbekal sabit, bermandi hujan, menantang beringas matahari dan pulang saat samburat jingga bertaburan bersamaan gema azan di puncak menara. “Tuloet,” panggil Emak. Kepalanya menguak tirai yang terbuat kain perica. Tuloet tergeletak di atas tumpukan kardus. Ia terlelap bersama lumpur yang masih membalut betisnya. “Tuloet,” gumam Emak, matanya mengkristal. Jiwanya merintih melihat putranya terlentang dihempas kelelahan. Tuloet semakin dewasa. Emak tahu ada perasaan cinta yang terbenam pada hati anaknya untuk Aminah, kembang desa yang kerab diperebutkan pemuda di kampung. Alasan lain kenapa Tuloet begitu giat bekerja.
Kehadiran Aminah dalam hidupnya menyadarkan Tuloet bahwa tidak selamanya bisa menggantung hidup pada seutas tali yang dicocokkan ke hidung kerbau. Melihat pemuda - pemuda kampung ke Malaya, Tuloet pun terseret oleh lembar-lembar ringgit yang kata temannya bisa mengubah hidup. “Mak, aku akan merantau ke Malaya,” pinta Tuloet, nadanya lirih. Dia juga khawatir Emak tak akan merestui. Tuloet seperti dihadapkan pisau bermata dua, atas bawah akan melukai diri sendiri. “Emak tak ingin Tuloet pergi, apalagi harus ke Malaya, Emak ingat betul kejamnya merantau. Seperti Hasbi pernah di penjara bertahun-tahun hingga di buang ke suatu tempat yang tidak berpenghuni sama sekali. Emak tak ingin kejadian itu terulang pada Tuloet.”
Kata-kata itu hanya tinggal kata, tak bermakna. Lepas begitu saja dari mulut emak terbang bersama angin entah ke mana, walaupun emak telah membujuk, menjatuhkan air mata. Tuloet tak sedikitpun mengurungkan niatnya. “Aku mau mencari ringgit Mak, orang tua Aminah tak rela punya menantu miskin. Dia akan dikawinkan dengan Taleb yang kaya itu.”
Kata-kata Tuloet menghujam relung Emak. Perempuan reot itu tak kuasa menahan keinginan anaknya. Emak tahu betul Tuloet sangat mencintai Aminah. Mereka telah berjanji akan hidup bersama. Emak pun sadar bahwa cinta kadang butuh pengorbanan. Kepergiaan Tuloet menyisakan duka pada jiwanya yang rapuh. Kadang ia masih menyeduh kopi buat Tuloet saat pagi menguak malam. Bila tersadar Tuloet tak ada bersamanya, ia tersedu dalam kebimbangan, rindu kian menggunung menindih dadanya yang sempit.
Lepas senja Emak melongok ke kamar Tuloet, berharap menemukan anaknya terbaring seperti dulu, terlentang dengan kaki berlumpur dan terlelap. Oh, rupa Tuloet persis seperti ayahnya, pipi tirus, mata hitam pekat, rambut bergelombang laut tenang. Hati tua meronta-ronta, kapan ia bisa mendekap mereka. Kemiskinan membuatnya terdampar pada kesendirian. Hati emak semakin galau, tak ada kabar dari Tuloet. “Ke mana kamu, nak? Pulanglah!” Air mata mengalir deras mengikuti celah pipinya yang keriput.
Hari demi hari, bulan berlalu meninggalkan tahun, Tuloet tak juga pulang. Saban malam Mak melempar pandang pada pintu pagar bambu yang dikelilingi bunga asoka. Ia masih menunggu Tuloet, kadang hingga fajar menjelang. Kini sepuluh tahun sudah Tuloet merantau, tak juga balik ke kampung. Lupakah ia pada Emak. Sementara di atas tikar pandan lusuh sebatang tubuh terbujur kaku, nyaris tak bergerak. Tulang belulang menonjol pada setiap lekuk anggota badan. Garis keriput merambat di tubuh perempuan itu. Matanya tak lagi hitam, terus menyemburkan air, mengalir dari pelipis hingga telinga, lantas menggenang di sana dan membuat telinganya menjadi tuli. Sedihnya terlalu dalam, dalam sekali. Masa senja dihabiskan untuk menangis, hingga matanya buta. Di samping tangannya terletak sebuah sabit yang berkarat. Emak tak punya kekuatan lagi untuk memegang. Emak antara mati dan hidup dalam gubuk penantiannya.
“Ke mana Tuloet, sepuluh tahun sudah, apa kau masih hidup atau telah dibutakan oleh ringgit,” kini tangan Mak menggenggam sabit yang sering dipakai Tuloet. Emak sekarat menahan rindu di gubuk reot bersama nafas yang terengah-engah. Bunga desa pun telah disunting orang. “Tuloet, tanah lahirmu di sini, nak,” mata emak pelan mengatup, sebulir kristal menetes pelan. Penantian turut menguras sumur air pada matanya. “Ayahmu hanya meninggalkan sebuah sabit dan sepetak sawah untukmu guna mengais rupiah, bukan untuk mengejar ringgit.”
Banda Aceh, 25 April 2011
* Etty Joseberg, anggota Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Aceh
Sedangkan Tuloet tak ingin membebankan Emak. Dia bekerja mengembala kerbau punya Apa Mud, saudagar ternama di kampungnya. Dia pergi ketika mentari menyembul dari timur, menembus belantara mencari rumput hijau, berbekal sabit, bermandi hujan, menantang beringas matahari dan pulang saat samburat jingga bertaburan bersamaan gema azan di puncak menara. “Tuloet,” panggil Emak. Kepalanya menguak tirai yang terbuat kain perica. Tuloet tergeletak di atas tumpukan kardus. Ia terlelap bersama lumpur yang masih membalut betisnya. “Tuloet,” gumam Emak, matanya mengkristal. Jiwanya merintih melihat putranya terlentang dihempas kelelahan. Tuloet semakin dewasa. Emak tahu ada perasaan cinta yang terbenam pada hati anaknya untuk Aminah, kembang desa yang kerab diperebutkan pemuda di kampung. Alasan lain kenapa Tuloet begitu giat bekerja.
Kehadiran Aminah dalam hidupnya menyadarkan Tuloet bahwa tidak selamanya bisa menggantung hidup pada seutas tali yang dicocokkan ke hidung kerbau. Melihat pemuda - pemuda kampung ke Malaya, Tuloet pun terseret oleh lembar-lembar ringgit yang kata temannya bisa mengubah hidup. “Mak, aku akan merantau ke Malaya,” pinta Tuloet, nadanya lirih. Dia juga khawatir Emak tak akan merestui. Tuloet seperti dihadapkan pisau bermata dua, atas bawah akan melukai diri sendiri. “Emak tak ingin Tuloet pergi, apalagi harus ke Malaya, Emak ingat betul kejamnya merantau. Seperti Hasbi pernah di penjara bertahun-tahun hingga di buang ke suatu tempat yang tidak berpenghuni sama sekali. Emak tak ingin kejadian itu terulang pada Tuloet.”
Kata-kata itu hanya tinggal kata, tak bermakna. Lepas begitu saja dari mulut emak terbang bersama angin entah ke mana, walaupun emak telah membujuk, menjatuhkan air mata. Tuloet tak sedikitpun mengurungkan niatnya. “Aku mau mencari ringgit Mak, orang tua Aminah tak rela punya menantu miskin. Dia akan dikawinkan dengan Taleb yang kaya itu.”
Kata-kata Tuloet menghujam relung Emak. Perempuan reot itu tak kuasa menahan keinginan anaknya. Emak tahu betul Tuloet sangat mencintai Aminah. Mereka telah berjanji akan hidup bersama. Emak pun sadar bahwa cinta kadang butuh pengorbanan. Kepergiaan Tuloet menyisakan duka pada jiwanya yang rapuh. Kadang ia masih menyeduh kopi buat Tuloet saat pagi menguak malam. Bila tersadar Tuloet tak ada bersamanya, ia tersedu dalam kebimbangan, rindu kian menggunung menindih dadanya yang sempit.
Lepas senja Emak melongok ke kamar Tuloet, berharap menemukan anaknya terbaring seperti dulu, terlentang dengan kaki berlumpur dan terlelap. Oh, rupa Tuloet persis seperti ayahnya, pipi tirus, mata hitam pekat, rambut bergelombang laut tenang. Hati tua meronta-ronta, kapan ia bisa mendekap mereka. Kemiskinan membuatnya terdampar pada kesendirian. Hati emak semakin galau, tak ada kabar dari Tuloet. “Ke mana kamu, nak? Pulanglah!” Air mata mengalir deras mengikuti celah pipinya yang keriput.
Hari demi hari, bulan berlalu meninggalkan tahun, Tuloet tak juga pulang. Saban malam Mak melempar pandang pada pintu pagar bambu yang dikelilingi bunga asoka. Ia masih menunggu Tuloet, kadang hingga fajar menjelang. Kini sepuluh tahun sudah Tuloet merantau, tak juga balik ke kampung. Lupakah ia pada Emak. Sementara di atas tikar pandan lusuh sebatang tubuh terbujur kaku, nyaris tak bergerak. Tulang belulang menonjol pada setiap lekuk anggota badan. Garis keriput merambat di tubuh perempuan itu. Matanya tak lagi hitam, terus menyemburkan air, mengalir dari pelipis hingga telinga, lantas menggenang di sana dan membuat telinganya menjadi tuli. Sedihnya terlalu dalam, dalam sekali. Masa senja dihabiskan untuk menangis, hingga matanya buta. Di samping tangannya terletak sebuah sabit yang berkarat. Emak tak punya kekuatan lagi untuk memegang. Emak antara mati dan hidup dalam gubuk penantiannya.
“Ke mana Tuloet, sepuluh tahun sudah, apa kau masih hidup atau telah dibutakan oleh ringgit,” kini tangan Mak menggenggam sabit yang sering dipakai Tuloet. Emak sekarat menahan rindu di gubuk reot bersama nafas yang terengah-engah. Bunga desa pun telah disunting orang. “Tuloet, tanah lahirmu di sini, nak,” mata emak pelan mengatup, sebulir kristal menetes pelan. Penantian turut menguras sumur air pada matanya. “Ayahmu hanya meninggalkan sebuah sabit dan sepetak sawah untukmu guna mengais rupiah, bukan untuk mengejar ringgit.”
Banda Aceh, 25 April 2011
* Etty Joseberg, anggota Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Aceh