Tiga tahun terasa begitu cepat, nggak kerasa dah wisuda. Cengar-cengir di acara wisuda, foto bareng temen2. Jika diperhatikan, emang agak aneh, kuliah bertahun2 hanya untuk 1 hari itu aja. Hari dimana ada ijazah, hari pembagian titel, sekaligus hari penambahan para pengangguran...
2 bulan di kampung, bukan waktu yang singkat bagi pengangguran.
“Zil, ke Banda Aceh yuk” ajak temanku yang ingin mengantarkan neneknya naik haji, tradisi mengantar haji ini memang udah turun temurun, aku teringat ketika ayahku berangkat haji, ditepungtawari plus pake acara tangis2an segala, kaya orang mau perang dan nggak pernah kembali. Sempat aku bertanya2, kenapa mesti menangis ya? Kayak mau meninggal aja… J
Akhirnya tanpa pikir panjang dan izin dari orang tua, aku pun berangkat ke Banda Aceh. Dibarengi niat awal, mencopot status “pengangguran”.
Awal yang pahit, benar kurasakan, dunia ini memang kejam, lebih kejam dari Adolf Hitler si penjajah dan pembantai, lebih kejam dari tukang sate yang setelah menyembelih lalu menusuk2 bahkan memanggang (tapi kambing, buat satee gitu… hehe…)
Stok uang jalan dari ortuku habis, perlahan2 meleleh bak lilin ruang gelap. Terpikir olehku minta kompensasi tambahan dari kampung, tapi niat tersebut urung aku lakukan karena malu, itulah aku dri zaman ke zaman, terus berpegang teguh pada prinsip “tidak suka meminta”.
Di pesantren dulu, mungkin aku satu2nya yang jarang dapet uang jajan, karena mama’ ku setiap kunjungannya di tahun pertamaku disana, mama’ selalu memberiku uang bertahap. Karena jumlah uang jajan dan SPP-ku berjumlah sama persis.
“Uang SPP udah bayar? Nih, mama’ kasih uang jajan dulu, uang SPP bulan depan aja.”
Merasa nggak enak karena disuratin oleh biro pesantren, akhirnya aku mengikhlaskan uang jajan untuk membayar SPP. Walhasil uang jajan ludes.
Bulan depan mama’ berkunjung lagi, hatiku riang gembira… J
“Uang jajan masih ada? Nih, bayar SPP dulu, uang jajan nanti mama’ kasih lagi.”
Uang itu pun benar2 kupakai buat bayar SPP. Walakhir, uang jajan ludes lagi.
Pada dasarnya mama ku ngerti aku banget, aku yang nggak pernah bilang nggak ada uang kalo mama’ ku bertanya.
“Masih ada uang jajan?”
“Masih mak”
“Berapa lagi?”
“empat ribu mak”
“Apa? Uang jajan apa tu empat ribu? Nih ambil buat jajan, beli aja apa yang kamu suka, jangan ditahan2…” Mama’ geleng2 kepala…
“Iya mak”
Hatiku meloncat kegirangan kaya kodok keluar dari kulkas. Aku dapet 150 ribu, emang bener sich, uang 4 ribu Cuma dapet beli es lilin 1, kodok2 kesukaanku 2, n kalo pengen makan mie, harus ngutang 2 ribu lagi… ckckckck…
Itulah sosok seorang ibu yang selalu mencari tahu keadaan anaknya. Mama’ memang number one in the world, tapi sayangnya, ketika penyakit “lupa” mama’ kambuh, pertanyaan2 semacam itu nggak pernah ada. L
Atau abangku, SAFRIL (Saf bermakna barisan dalam bahasa Arab, sedangkan Ril, dalam bahasa Inggris dibaca REAL, jadi jika digabungkan nama saudara laki2 pertamaku itu bisa diartikan “BARISAN YANG NYATA” *maksa… kekekeke).
Waktu itu mama’ mendelegasikan abangku untuk mengantarkan langsung uang buku ke pondok pesantren. Setelah melewati pemeriksaan Satpam pagar. Biasa, Pak Yusuf, si kepala Satpam kadang suka over kalo periksa orang, pake acara sita barang, ngeluarin isi2 dalam tas, merogoh2 kantong bak penjaga penjara, alasannya “waspada ada tamu yang membawa rokok, narkoba, dan senjata tajam.” Padahal, manaaaa daaa… hehehe
Abangku merepet pedas, ngoceh2 nggak karuan, katanya sich awalnya ntu satpam nggak ngizinin masuk, setelah memberikan 27 alasan, akhirnya abangku berhasil menemuiku di depan pintu kamar pondok yang kalo didorong pake telunjuk bisa jatuh nimpa siapapun yang ada di belakangnya.
“Berapa perlu uang dek?”
“Dua Puluh Empat Ribu bang”
“Haaah…??? Ongkos dari kampung kemari aja udah 30 ribu. Itu belum hitung uang makan minum. Jadi cape2 jauh2 kemari Cuma ngantar uang 24 ribu?”
“Iya, segitu perlunya buat beli buku, kata ustadz wajib beli”
“ #$%^&*(*&^%$%^&* “
*******************************************