Pendahuluan
Palang Merah Indonesia (PMI) merupakan satu-satunya organisasi perhimpunan palang merah nasional yang telah diakui oleh Federasi Internasional, bersifat independen dan bergerak dalam bidang sosial kemanusiaan. Dalam menjalankan kegiatannnya PMI selalu berpegang teguh pada tujuh prinsip dasar Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan sabit merah yaitu kemanusiaan, kesamaan, kesukarelaan, kemandirian, kesatuan, kenetralan, dan kesemestaan. Sampai saat ini PMI telah berada di 33 PMI Daerah (tingkat provinsi) dan sekitar 408 PMI Cabang (tingkat kota/kabupaten) di seluruh Indonesia. Dengan tersebarnya markas PMI di seluruh plosok Tanah Air, maka tak heran jika organisasi ini paling dikenal dan dekat dengan masyarakat.
Salah satu misi dari PMI yakni Meningkatkan dan mengembangkan kapasitas/ sumber daya manusia (pengurus, staf, Palang Merah Remaja dan relawan). Dalam berbagai kegiatan yang dilakukan, PMI dalam hal ini memiliki komitmen terhadap kemanusiaan seperti yang tertuang dalam strategi 2010 berisi tentang memperbaiki hajat hidup masyarakat rentan melalui promosi prinsip nilai kemanusiaan, penanggulangan bencana (disaster management), kesiapsiagaan bencana (disaster preparedness), kesehatan dan perawatan di masyarakat, Penanganan program pada isu-isu penanggulangan bencana, penanggulangan wabah penyakit, remaja dan manula, kemitraan dengan pemerintah, organisasi dan manajemen kapasitas sumber daya serta humas dan promosi, maupun rencana kerja (Plan of Action) merupakan keputusan dari Konferensi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ke-27 di Jenewa Swiss tahun 1999.
Dalam makalah ini penulis menggarisbawahi salah satu dari misi Palang Merah Indonesia dalam peningkatan kualitas relawan dalam penanggulangan bencana pada suatu desa. Ide dasarnya adalah penggabungan antara masyarakat dengan relawan Palang Merah Indonesia.
Masyarakat Rentan
Pengertian dari kerentanan adalah tingkat dimana sebuah masyarakat, structural, layanan, atau daerah geografis yang berpotensi/ mungkin rusak atau terganggu oleh dampak bahaya tertentu karena sifat-sifatnya, konstruksinya, dan dekat dengan area berbahaya atau area rawan (Sumber: Pelatihan KBBM- PERTAMA untuk KSR: 2008). Keberadaan kelompok rentan yang antara lain mencakup anak, kelompok perempuan rentan, penyandang cacat, dan kelompok minoritas mempunyai arti penting dalam, masyarakat. Untuk memberikan gambaran kepada keempat kelompok masyarakat tersebut selama ini, maka penelaahan perlu diawali dengan mengetahui keadaan sebenarnya yang terjadi di dalam masyarakat.
Menurut badan meteorology dunia, Indonesia merupakan Negara yang memiliki kerentanan yang tinggi terhadap bencana alam yang ditimbulkan di lautan, daratan dan pegunungan. Melihat apa yang terjadi, seolah PMI hanya fokus kepada penderita penyakit yang sedang memerlukan darah, karena program ini yang paling gencar dilakukan oleh PMI. Seperti dijelaskan di atas, bahwa seharusnya seluruh gerakan kepalangmerahan haruslah berbasis masyarakat. Ini artinya masyarakatlah yang membantu setiap pergerakan kepalangmerahan mulai dari level desa, hingga unsure pemerintahan desa.
Kendatinya kenyataan di lapangan menunjukan bahwa masih dijumpai kelompok rentan yang belum sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Upaya perlindungan guna mencapai pemenuhan hak kelompok rentan telah banyak dilakukan Pemerintah bersama masyarakat, namun masih dihadapkan pada beberapa kendala yang antara lain berupa: kurangnya koordinasi antar instansi pemerintah, belum terlaksananya sosialisasi dengan baik, dan kemiskinan yang masih dialami masyarakat.
Hal ini membutuhkan adanya pemetaan daerah rawan yang dilakukan bersama-sama dan memiliki satu data base di PMI yang kemudian di share kepada pemerintah. Dengan indicator adanya semacam “desa sahabat.” Misalkan masyarakat di desa B adalah desa yang rentan dan rawan bencana bersebelahan dengan desa A, maka ketika terjadinya bencana di desa A, relawan (masyarakat) langsung memprioritaskan membantu desa B dan menjadikan desanya sebagai tempat penampungan bagi desa A. demikian juga sebaliknya. Jika kerja sama di level masyarakat sudah sedemikian terjalin dengan baik, maka dengan sendirinya terciptalah aktualisasi dari masyarakat siaga bencana.
Relawan
Dalam penanganan bencana, posisi dan peran yang sangat penting dimiliki oleh relawan. Maka dari itu relawan bukan sekedar sebuah kekuatan alternatif, tetapi menjadi alternatif utama. Tentu ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi relawan emergency bencana. Yang terpenting adalah kekuatan fisik dan keahlian. Jika keterlibatan relawan di level masyarakat ini dianggap penting, maka sudah selayaknya jika kita mengatakan relawan adalah donatur. Sesungguhnya masyarakat yang mendermakan dananya untuk membantu korban bencana, maka sejatinya iapun adalah relawan. Dana bahkan menjadi hal yang sangat penting untuk mendukung hasil maksimal penanganan bencana.
Disisi lain relawan sebagai penyumbang tenaga dan keahlian. Klasifikasi dalam kategori ini contohnya ahli evakuasi, ahli medis, jurnalis, ahli gizi, juru masak, tukang bangunan, psikolog, guru, seniman, dan lainya yang secara sukarela turun langsung membantu korban bencana di lapangan. Relawan sebagai penyedia fasilitas yang diperlukan dalam penaganan bencana. Misalnya ada relawan yang menyediakan sarana transportasi, menydediakan rumah atau kantornya untuk dijadikan markas posko kemanusiaan, dll.
Sedemikian pentingnya peranan dan posisi relawan terhadap masyarakat dalam penanganan bencana, baik saat sebeum, sedang dan pasca terjadinya bencana. Kita belajar dari pengalaman pahit Tsunami yang melanda Aceh 2004 silam, para donator berhamburan dating ke Aceh, kendati, memang tidak dapat dipungkiri mereka tergerak atas nama kemanusiaan. Tapi di balik itu, banyak pula implementasi buruk yang tercipta di masyarakat baik dari segi psikologi dan gaya hidup. Budaya cash for work juga diperkenalkan oleh lembaga asing yang dating berperan membantu pemulihan pasca bencana.
Mari kita lihat bagaimana masyarakat Jepang mengambil peran langsung setelah mendapatkan support dari pemerintah pasca terjadinya Tsunami. Pemerintah bersama-sama dengan masyarakat bangkit untuk penanganan pasca bencana. Semua berlomba-lomba setidaknya menjadi relawan untuk ataupun kerabat masing-masing. Sedikit sekali Lembaga asing yang mengambil alih penanganan. Berbeda dengan kondisi yang telah dialami berkali-kali di Indonesia, diamana masyarakat masih sangat tergantung kepada lembaga asing, dan di situ juga kita temukan lembaga local yang masih sangat menunggu kuncuran danan lembaga luar. Dan pada akhirnya budaya yang tercipta di masyarakat adalah budaya menunggu, padahal jika mereka bekerja menangani pasca bencana, juga akan mengurangi kerentanan masyarakat itu sendiri, karena adanya interaksi social dan kerjasama yang baik merupakan cerminan dalam kesuksesannya suatu masyarakat. Tinggal peran instansi terkait, termasuk gerakan palangmerah memberikan pembenahan-pembenahan dan peningkatan kualitas mana yang masih kurang kepada masyarakat tersebut dalam hal manajemen dan upaya-upaya tehnis yang dibutuhkan.
Manajemen Logistik
Sebelum bantuan didatangkan, sudah sepantasnya adanya identifikasi kebutuhan di level masyarakat yang disesuaikan dengan budaya dan adat-istiadat pada daerah terkenanya bencana. Dan hal- hal penting yang perlu diperhatikan dalam penanganan logistik bantuan antara lain:
Pengadaan logistik bantuan harus sedapat mungkin berdampak pada pemberdayaan ekonomi lokal. Caranya adalah membeli logistik bantuan dari pelaku ekonomi lokal, khususnya para pelaku ekonomi menengah bawah. Ini akan mendorong perputaran ekonomi lokal menjadi stabil. Strategi seperti ini sangat efektif dan efesen karena selain memungkinkan bisa cepat tiba di lokasi bencana, kita juga tidak direpotkan oleh ribetnya masalah transportasi.
Adanya keragaman logistik bantuan terutama untuk makanan dan sandang, hendaknya menyesuaikan dengan kultur yang berlaku di masyarakat korban bencana. Sebagai contoh, ternyata masyarakat Aceh tidak menyukai ikan sarden yang diawetkan. Kebanyakan pengungsi menukarnya dengan barang lain dengan para pedagang. Atau karena tidak segera dikonsumsi, banyak sarden yang menjadi kadaluarsa. Berdasarkan pengamatan kami di lapangan, ikan asin lebih mereka sukai daripada sarden. Dan ikan asin dengan mudah bisa dibeli dari para nelayan Aceh.
Selain itu, makanan memenuhi standar gizi sangat dibutuhkan. Dimana masyarakat korban bencana yang umumnya menghuni barak-barak penampungan alakadarnya, menyebabkan keadaan fisik yang semakin melemah. Oleh karena itu pilihan logistik makanan yang tidak mempunyai nilai gizi maksimum bisa menyebabkan malapetaka bagi korban. Data menunjukkan bahwa wabah penyakit dan kematian korban bencana banyak terjadi justru setelah mereka mengkonsumsi makanan yang tidak bergizi secara terus menerus. Meskipun praktis, Mie instan misalnya bukanlah pilihan logistik yang aman untuk dikonsumsi secara terus menerus oleh pengungsi korban bencana.
Hal yang terakhir yang pelu diperhatikan adalah pakaian yang diberikan sesuai kebutuhan dan tetap memperhatikan martabat korban sebagai manusia.
Penanganan Bencana
Dalam hal mengantisipasi dan mengurangi dampak dari kerentanan di masyarakat di masa dating, PMI telah menjadi pioner dalam menciptakan program Kesiapsiagaan Bencana berbasis masyarakat atau lebih dikenal di kalangan internasional dengan Community Based Disarter Preparedness. Program ini bertujuan mendorong pemberdayaan kapasitas masyarakat dan memberikan berbagai fasilitas agar masyarakat siap dan siaga dalam mencegah serta mengurangi dampak dan risiko bencana yang terjadi di lingkungannya sendiri. Karena hal ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat sebagai pihak yang secara langsung terkena dampak bila terjadi bencana.
Pada dasarnya seluruh gerakan kepalangmerahan haruslah berbasis masyarakat, ujung tombak gerakan kepalangmerahan adalah unsur unsur kesukarelaan seperti Korps Sukarela atau KSR maupun Tenaga Sukarela atau TSR dan juga Palang Merah Remaja atau PMR dan seluruh unsur ini selalu berbasis pada anggota masyarakat sesuai salah satu prinsip kepalangmerahan (Kesemestaan).
Sangat dibutuhkan kerjasama antar berbagai elemen dan unsure masyarakat dalam hal penanggulangan bencana. Karena segencar apapun yang dilakukan oleh pemerintah, lembaga-lembaga, instansi, dan gerakan kepalangmerahan, hal ini akan sia-sia jika tidak ada partisipasi dan kepedulian di level masyarakat. Jika penggabungan gerakan palang merah dan masyarakat berjalan cukup baik, maka sejatinya, bisa dikatakan perhimpunan palang merah hanya bekerja mengurusi kebutuhan-kebutuhan tehnis di masyarakat. Sedangkan yang menjalankan seluruh kegiatan adalah masyarakat yang telah sadar dan mawas diri terhadap kerentanan yang teridentifikasi di desanya.
Kesimpulan.
Hal yang terpenting dalam penanggulangan bencana adalah terciptanya kesadaran dan kepedulian sesame masyarakat dan pemerintag serta intansi atau organisasi yang bergerak memberikan bantuan.
Dalam menangani dampak bencana, baik pada tahapan kesiapsiagaan, emergency maupun tahapan rehabilitasi, sebaiknya menggerakan elemen lokal sebagai sumberdaya utama. Bahkan bisa menggerakan sebagian dari korban bencana itu sendiri. Dalam hal ini misalnya kebutuhan tenaga relawan lapangan bisa merekrut sumber daya local yang ada.
Untuk menggerakkan elemen lokal tidaklah sulit, karena pada hakekatnya semua program yang kita ingin lakukan adalah kebutuhan mereka. Artinya menjadikan elemen lokal termasuk korban sebagai subjek, bukan objek. Prinsip ini akan jauh lebih maksimal hasilnya karena elemen lokal dan korban akan merasa memiliki terhadap program yang dijalankan.
Banda Aceh, 27 Nopember 2011
Mahzil.