Percayalah... Suatu saat nanti... Kita 'kan dipertemukan kembali... Bintang... :)

Selasa, 27 Desember 2011

Mengenang Tsunami

Entah ada apa dibalik intensitasku bermimpi Tsunami, jika dirata-ratakan, aku lebih sering bermimpi Tsunami dibandingkan dengan mimpi-mimpi lain yang mungkin lebih indah. Tsunami indah? Iya, bagiku, di alam mimpi, berbeda dengan realita yang dialami oleh jutaan penduduk Aceh pada khususnya 26 Desember 2004 silam.

Dan lagi-lagi, semalam (23 Desember 2011), aku bermimpi sedang mengunjungi pulau kecil untuk berlibur dan mengisi waktu santai, aku bersama ayahku disana. Setiba disana, aku duduk santai di sebuah cafe di Malaysia (tiba2 aja sampe Malaysia, kiban nyo?) bersama teman-teman. Seketika itu, tanpa ada yang sadar, aku melihat gelombang tinggi yang cepat melaju ke arahku. Awalnya aku tidak percaya, ini mustahil, karena tidak ada tanda2 gempa sebelumnya. Tapi disela2 ketidakpercayaanku, Aku mencoba mencapai tempat yang lebih tinggi. Rumah Aceh. Waktu itu, hanya rumah Adat Aceh yang paling tinggi selain pohon kelapa yang berjejerah jauh dariku. Terdetik bahwa aku tidak akan selamat dari ancaman maut ini. Ntah bagaimana, ayahku tidak lagi berada denganku, tapi aku yakin beliau selamat. Hanya tinggal aku dan beberapa orang disana. Dan aku pun pasrah.

Seketika itu gelombang yang menyapu setiap bangunan di depanku semakin mendekat. Aku mencoba berlari ke atas bukit, tapi langkahku dihentikan ketika aku melihat ada orang yang mencoba berlari dan disapu oleh gelombang raksasa itu. Dan ku simpulkan, aku tidak akan berlari. Nyaris, tak masuk di akal. Ketika aku melihat gelombang di depanku tiba2 menjauhiku, berbelok ke sisi kiri ku yang waktu itu tak lagi dapat berkutik. Alhamdulillah, ujarku.
Dan akhirnya gelombang pertama pun surut, aku beranjak ke sebuah cafe yang tak jauh di sebelah kanan. Kaget, aku melihat beberapa orang sedang dengan santainya menikmati sore sambil bersenda gurau dan menikmati secangkir kopi. Sempat aku berpikir, apa karena ini Malaysia? Apa karena Malaysia negara lebih maju 89 lantai dari pada Indonesia? Tanyaku dalam hati.

Aku pun bergegas melihat ke luar, untuk meyakinkan bahwa tak ada lagi Tsunami. Tapi nyatanya, lagi-lagi aku melihat gelombang yang lebih tinggi dan secepat pesawat masih setia menghampiriku. Aku semakin gugup. Memang di dalam hati aku tidak akan lari, aku akan pasrah, bahwa di sini lah ajalku. Aku melihat ada beberapa orang yang mencoba untuk lari, namun mereka terbunuh oleh mesin gelombang itu. Usaha yang sia-sia, pikirku lagi.

Dan akhirnya, aku pun tersapu ombak, terbawa ke sebuah pulau yang tadinya jauh, sekarang terhubung oleh Tsunami. Di pulau itu, aku masih saja melihat Tsunami yang terus datang menghajar. Karena ada pohon kelapa di depanku, akhirnya aku pun menaiki kelapa tersebut. Dan Akhirnya, aku selamat di atas sana. Bagiku ini bukan mimpi buruk, melainkan mimpi yang memberikan tantangan dan memicu andrenalin, wah, parah...

TSUNAMI PART  XVII

Sebelumnya, aku juga pernah bermimpi, ketika aku lagi duduk di meunasah yang memiliki anak kaki (mirip rumah Aceh) di dekat sebuah pasar yang ramai. Aku baru saja selesai shalat. Tiba-tiba datang seorang ibu menitipkan 2 orang anak kembarnya kepadaku, karena hendak berbelanja di pasar.  Akhirnya aku pun meng-iya-kan, menjaga anak yang usil2 dan lasak2 itu. Sambil membaca Alquran, aku pegang pergelangan anak itu yang mencoba ari kesana kesini.

Jelang beberapa menit, aku merasakan gempa yang sangat dahsyat, membuat kaki meunasah (mushalla-tempat shalat- red) itu patah. Miring. Hingga membuat posisi aku dan ke 2 anak itu terseret ke satu sisi ruangan. Parahnya lagi, meunasah itu terbawa hingga ke tepi pantai, oleh karena saking dahsyatnya gempa itu. Tangan kiri dan kananku masih menggenggam erat ke-dua anak tadi yang dititip ibunnya kepadaku. Anak itu menangis keras dan melihat ke arahku sambil ketakutan.

Gempa akhirnya berhenti. Aku melihat air laut semakin surut jauh. Aku meyakini bakal ada tsunami, dan firasatku benar. Seketika itu aku melihat gelombang tinggi sedang bersiap2 untuk menyapu alam. Hitam. Berkabut. Tinggi. Mengerikan. Aku memutuskan diri untuk lari. Mendaki bukit yang lebih tinggi. Mencari titik aman dari gelombang besar itu. Sambil tanganku menarik kedua anak yang tidak ku kenal itu seperti adikku sendiri. Mereka menangis dahsyat. Masih saja melihat ke arahku. Aku sedah berada di puncak bukit. Ketika Tsunami datang, ia tidak sampai menyapuku bersama bangunan2 lain yang hancur luluh.

Baru saja aku mengatakan Alhamdulillah, aku melihat ada gelombang yang lebih besar dan lebih cepat melaju ke arahku. Subhanallah, aku dan ke dua anak ini tak akan selamat. Aku mencoba melihat ke tempat yang lebih tinggi lagi. Tapi percuma, tempat itu terlalu jauh. Dan lagi-lagi di mimpi ini, aku pasrah. Bak film mengejar matahari, kami berdiri bersampingan, Si anak kembar yang satu ku pengang dengan tangan kananku, dan yang satunya lagi ku pegang erat dengan tangan kiriku. Mereka berdiri mematung. Disini akhir ajalku. Ketika gelombang hampir berada tepat di atasku, dan aku pun menutup mata. Ya Allah, ampuni dosa-dosaku...  Ini saatnya aku mati. Mati oleh makhlukmu yang perkasa. Mati oleh Air.

“dbdbrbrbrbrbrbrrbrrrrrrrrrrrrr..........” terdengar ganasnya Tsunami itu. Setelah beberapa saat, aku tidak merasakan setetes airpun yang membasahaiku, harusnya aku telah hanyut dan berbenturan dengan bangunan dan pepohonan yang hancur tak berdaya. Ku buka mataku. Seolah aku melihat ada keajaiaban yang ku alami. Gelombang tsunami menjauh berbelok ke kanan dan kekiri, seolah tidak ingin mendekati 2 anak yang tidak berdosa itu. Aku tertolong karena mereka. Dan aku terheran ketika melihat ke arah mereka. Mereka malah menghadiahiku senyuman. Senyuman yang lugu. Senyuman khas anak-anak. Senyuman yang menyejukkan. Senyuman malaikat-malaikat kecil... Subhanallah...

MENGENANG TSUNAMI.

Mengingat peristiwa yang pernah terjadi 7 tahun silam, tentu saja bukan alasan untuk ditangisi. Meski ada luka yang tertanam ketika melihat saudara, sahabat, teman, yang tenggelam bersama gelombang raksasa si- Tsunami. Kejadian yang maha dahsyat yang pernah kita alami/ kita lihat semasa hidup. Kejadian yang memilukan yang menyayat hati. Kejadian yang mengajari kita arti berbagi. Kejadian yang membuat kita tersadar bahwa kehidupan bukanlah tujuan akhir kita. Kejadian yang membuat kita seharusnya lebih peduli sesama. Tidak saling menjatuhkan, dan berpegang erat pada kaidah2 agama. Kejadian yang mengajari kita agar yakin, bahwa kita adalah makhluk yang lemah di atas yang Maha Tinggi, yang mampu berbuat apapun.

Dan tentu, peristiwa ini akan selalu kami kenang hingga anak cucu. Kami akan selalu mengirimkan doa kepada teman-teman, dan saudara2 yang lebih awal meninggalkan kami. Blay (Fadhillah), temanku yang juga pergi bersama gelombang besar itu, aku akan selalu mendoakanmu. Terimakasih telah hadir di dalam mimpiku. Meskipun aku tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya surah Yasin dan doa yang dapat aku titipkan. Semoga kau ditempatkan di tempat yang selayak-layaknya. Blay, kapan kau ajak aku bermain dengan mobil barumu. Blay, aku yakin, aku akan menyusulmu suatu saat nanti. Menyusul teman-teman ku yang juga hilang waktu itu, Selamat jalan Fadhillah, Muhammad Zahaf, Cut Dhora Surrahmi, Badroel Tamam, Dek Do, dkk, selamat jalan Saudara-saudaraku...


B I S M I L L A A H I R R A H M A A N I R R A H I I M . . . MARI B E R S A M A B E R B A G I R A N G K A I A N C E R I T A, G O R E S A N K I S A H, K E K U A T A N A Q I D A H, DAN K E T A J A M A N P E N G E T A H U A N . . . . . "KUTITIPKAN SENYUMKU, DI SEJUTA MANIS SENYUMNYA...

Suka

Share to Facebook >>