Silahkan saja bila para Generasi Tua ini ingin terus berkonflik dan merusak, tetapi jangan pernah merusak Generasi yang akan datang. Janganlah pernah berkata bahwa semua yang dilakukan adalah karena Cinta kepada anak-anak bangsa, bila memang terus saja mencoba melenyapkan dan menghilangkan jati diri Generasi muda.
Oleh Mariska Lubis (*
Di tengah suasana yang tidak karuan di Aceh seperti sekarang ini, teringat akan sebuah nasehat yang disampaikan oleh seorang kakek. Dia pernah berkata, yang isinya kira-kira, “Yang sebaiknya kamu pelajari dari Aceh adalah kemampuan orang Aceh di dalam berdiplomasi. Kemenangan mereka di dalam perjuangan bukanlah menggunakan kekuatan fisik, tetapi keahlian di dalam berpikir dan berkata”.
Beliau bercerita beragam contoh yang pernah dilakukan oleh para pemimpin Aceh pada masa perjuangan dahulu, yang juga beliau sedikit uraikan dalam bukunya yang berjudul “Kilas Balik Revolusi”. Satu cerita yang paling saya ingat adalah ketika beliau dikirim oleh orang tuanya bersama anak-anak Aceh yang lain untuk belajar di luar negeri. Tentunya, tidak semudah sekarang ini bisa mengirim anak ke luar negeri. Bukan hanya urusan uang semata, tetapi juga urusan kepentingan politik.
Para orang tua mereka berdiplomasi kepada Belanda dengan dalih bahwa dengan mengirimkan anak-anak pribumi yang potensial belajar ke luar negeri, maka Belanda tidak perlu lagi repot di dalam mengurus dan mengatur segala urusan di Aceh. Mereka jadi bisa lebih pintar dan tahu banyak sehingga pada saat mereka pulang nanti, mereka dapat bekerja dan mengabdi pada Belanda. Yah, ini hanyalah sebuah taktik saja. Yang sebenarnya dilakukan adalah, untuk menjadikan generasi penerus mereka lebih pintar sehingga pada saat pulang nanti, bisa membantu perjuangan dan melawan Belanda. “Pergi dan bergaullah dengan Belanda, curi ilmu mereka dan gunakan untuk melawan mereka sendiri.”
Yah, memang banyak kontradiksi di dalam juga mengenai hal ini mengingat kebencian terhadap Belanda sangatlah tinggi. Ditambah lagi banyak ketakutan bahwa dengan mengirimkan generasi penerus ke luar negeri, maka mereka akan menjadi “kebarat-baratan” dan lupa akan akar budayanya sendiri. Yang paling ditakutkan tentunya soal agama dan keyakinan. Semua ini bisa dimengerti tetapi lagi-lagi kemampuan untuk meyakinkan bukan hanya pada mereka yang menentang tetapi juga pada generasi penerus yang sudah dipersiapkan ini, terbukti bahwa semua itu hanyalah ketakutan yang berlebihan semata.
Yang saya tahu pasti, tidak ada satu pun dari kakak beradik kakek saya yang dikirimkan, lalu berubah menjadi “Barat”, mereka justru sangat nasionalis dan berjuang terus bagi bangsa dan negaranya. Agama dan keyakinan mereka pun dipegang teguh dan tidak ada yang bisa mengubah mereka. Demikian juga dengan beberapa orang kawan mereka yang saya kenal, semuanya memiliki kepribadian yang sangat kuat dan berani. Almarhum Hasan Tiro?! Apakah dia pernah berubah?!
Maksud dari saya menyampaikan ini semua adalah untuk sekedar berbagi kenangan atas apa yang telah dilakukan oleh para pendahulu. Saya sedih bila melihat keadaan Aceh sekarang ini. Rasanya tidak percaya Aceh sudah kehilangan apa yang dulu pernah ada. Kecerdasan di dalam berpikir jauh ke depan itu sekarang berubah dengan kekinian. Lihatlah bagaimana situasi dan kondisi di dalam menjelang Pilkada sekarang ini.
Sesama orang Aceh sendiri saling baku hantam dan dengan cara-cara yang sangat mengkhawatirkan sekali. Kenapa harus dengan cara saling sikut dan menjatuhkan?! Mengapa tidak ada yang mau merangkul dengan penuh ketulusan tanpa ada maksud untuk kepentingan pribadi semata?! Mengapa tidak ada yang mau berbuat untuk semua selain hanya untuk “mencari nama” dan meraup suara?! Kapan konfilk di Aceh mau selesai bila orang Aceh-nya sendiri terus berkonflik dan tidak juga mau bersatu?!
Sesama orang Aceh sendiri saling baku hantam dan dengan cara-cara yang sangat mengkhawatirkan sekali. Kenapa harus dengan cara saling sikut dan menjatuhkan?! Mengapa tidak ada yang mau merangkul dengan penuh ketulusan tanpa ada maksud untuk kepentingan pribadi semata?! Mengapa tidak ada yang mau berbuat untuk semua selain hanya untuk “mencari nama” dan meraup suara?! Kapan konfilk di Aceh mau selesai bila orang Aceh-nya sendiri terus berkonflik dan tidak juga mau bersatu?!
Generasi muda yang merupakan cikal bakal tulang punggung pun sering dianggap enteng dan tidak penting, tetapi selalu digunakan dan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan politik. Darah muda yang terus bergejolak dan keberanian yang terkadang seringkali tidak mampu dikendalikan menjadi sasaran yang sangat empuk untuk menjadi bahan permainan. Apalagi bila dalam keadaan labil, bingung, dan tidak memiliki arah serta kepribadian yang kuat. Demokrasi dan kebebasan yang “ditanamkan” pun sesungguhnya hanyalah alat untuk “mencuci otak” dan mendapatkan tempat saja. Toh, kekuasaan masih terus mendominasi dan menjadi momok yang menakutkan karena ada banyak sekali ancaman dan kekerasan yang dilakukan. Jadi, jangan heran bila banyak yang menyesal di kemudian hari meski sudah kepalang basah dan tercemplung ke dalam lumpur.
Membaca apa yang dilakukan oleh Generasi Kuneng menantang para pemimpin dan seluruh orang Aceh untuk mendukung film “Garamku Tak Asin Lagi”, menjadi sebuah harapan di dalam hati ini. Saya salut! Paling tidak, ada generasi muda yang mampu melihat dengan jelas apa yang seharusnya dilakukan di dalam menghadapi situasi dan kondisi yang sekarang sedang terjadi. Menyatukan seluruh orang Aceh dan membangkitkan solidaritas kebersamaan untuk mendukung sesuatu yang positif menjadi sangat penting saat ini. Tidak perlu harus melihat siapa dan bagaimana, tetapi apa yang sudah dilakukan. Kreatifitas dan karya bukanlah sesuatu yang mudah untuk dibuat, karena itu perlu diapresiasi oleh bersama.
Menurut saya pribadi, inilah bagian dari apa yang saya maksudkan dengan kemampuan orang Aceh di dalam berpikir dan berdiplomasi. Tidak perlu ada kekerasan di dalamnya, tetapi jelas menggunakan tindakan dan perbuatan nyata yang mengandalkan pemikiran dan hati. Idealismenya nampak sangat jelas dan kuat, serta apa yang dilakukan bisa memberikan efek yang sangat positif baik untuk saat ini maupun nanti. Persis seperti apa yang sudah dilakukan oleh para pendahulu orang Aceh di masa perjuangan lalu meski dalam bentuk yang berbeda.
Silahkan saja bila para generasi tua ini ingin terus berkonflik dan merusak, tetapi jangan pernah merusak generasi yang akan datang. Janganlah pernah berkata bahwa semua yang dilakukan adalah karena cinta kepada anak-anak bangsa, bila memang terus saja mencoba melenyapkan dan menghilangkan jati diri generasi muda. Jangan pernah juga menuntut generasi muda untuk lebih maju dan berkembang bila yang tuanya pun selalu saja berpikiran dan memiliki hati yang “terkotak”.
Jangan salahkan internet dan budaya asing, deh!!! Lebih baik bercermin saja dulu, berani dan mampukah untuk jujur?! Benarkah sudah mampu memiliki cinta kepada generasi yang akan datang ini dengan menjadikan mereka sebagai generasi yang mandiri, cerdas, sehat, dan memiliki kepribadian yang kuat?! Bukan sebagai anak yang merasa dimiliki dan dikuasai lalu dituntut untuk membalas budi, ya!!!
Jangan salahkan internet dan budaya asing, deh!!! Lebih baik bercermin saja dulu, berani dan mampukah untuk jujur?! Benarkah sudah mampu memiliki cinta kepada generasi yang akan datang ini dengan menjadikan mereka sebagai generasi yang mandiri, cerdas, sehat, dan memiliki kepribadian yang kuat?! Bukan sebagai anak yang merasa dimiliki dan dikuasai lalu dituntut untuk membalas budi, ya!!!
Bagi generasi muda Aceh, jadilah Aceh yang sejatinya. Kuatkan dan perkokoh diri sebagai Aceh. Berpikir dan berperilakulah seperti layaknya seorang Aceh sejati. Jangan pernah takut dengan keadaan dan situasi karena kita tidak diatur oleh keadaan. Kitalah yang seharusnya bisa mengatur keadaan. Baik dan buruknya Aceh di masa depan ada di tangan kalian semua. Bersatulah untuk satu tujuan yang pasti!
Sekarang, sebagai seorang perempuan yang bukan orang Aceh dan tidak tinggal di Aceh, saya yang menantang semua generasi muda Aceh, “Beranikah kalian menjadi Aceh yang sekaligus pemimpin bagi diri sendiri?!”.